ilustrasi KDRT
Ilustrasi

PM, Banda Aceh – Sejak tahun 2019, Kota Banda Aceh menempati peringkat tertinggi jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Provinsi Aceh, yakni mencapai 162 kasus.

Hal itu disampaikan perwakilan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh, Yuslita di sela-sela Sosialisasi Pencegahan KDRT Sejak Dini kepada generasi muda di Kota Banda Aceh, Kamis (26/11/2020).

“Sedangkan di tahun 2020 tercatat 59 kasus,” ujar dia, seperti tertera dalam keterangan resmi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI.

Ia mengatakan, Pemerintah Aceh telah berkomitmen untuk menurunkan angka KDRT, yaitu dengan melakukan penguatan kelembagaan perlindungan perempuan dan anak, seperti Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA).

“Selain itu pemerintah juga telah mengesahkan Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak,” kata dia.

Dari keterangan sejumlah peserta sosialisasi ini, terungkap bahwa lonjakan kasus KDRT di Kota Banda Aceh salah satunya disebabkan kurangnya bekal bagi para calon pengantin untuk membina rumah tangga.

“Karena kurang pembekalan, sehingga sering kali masalah diselesaikan dengan kekerasan,” kata Ilham, Ketua Pemuda Gampong Garot, Aceh Besar menghadiri sosialisasi tersebut.

Ia juga menambahkan, banyaknya kasus perkawinan usia anak juga turut menjadi faktor pemicu terjadinya KDRT di Kota Banda Aceh. Ilham pun menganggap penting untuk menyosialisasikan pencegahan secara masif kepada masyarakat di akar rumput.

Dalam upaya itu, kata dia, butuh peran tokoh agama untuk memberi pemahaman bahwa kekerasan terhadap istri termasuk perbuatan yang zalim.

“Pendampingan tokoh agama diperlukan dalam pembekalan calon pengantin dan masyarakat luas bahwa berbuat zalim (jahat) kepada istri merupakan perbuatan dosa,” ujar dia.

Ilham juga menekankan, jika kasus KDRT kadung terjadi, maka perlu sinergi para aparat penegak hukum menanganinya. Karena jika kasus itu dibiarkan, ia khawatir penderitaan bagi perempuan semakin dalam dan dapat berefek buruk pada anak.

“Penegakan hukum harus memberikan efek jera kepada pelaku kekerasan, tanpa adanya anjuran berdamai dalam penanganan kasus semacam ini,” jelas Ilham.

Peserta lainnya, Fazila menanggapi hal serupa. Usai mengikuti kegiatan ini, ia mengaku sadar pentingnya membangun pemikiran bahwa perempuan bukanlah kelompok yang lemah.

Menurut dia, stigma tersebut telah mempengaruhi psikis perempuan dan membuat mereka rentan mengalami KDRT.

“Jadilah perempuan yang berpikir kritis, mari kita tunjukan bahwa perempuan dan laki-laki setara. Bangun komunikasi yang baik dengan pasangan, jangan ada yang merasa lebih superior, selesaikan masalah dan konflik secara baik-baik, dan tidak dengan emosi,” tutup Fazila.

Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Puspayoga sebagai pembicara dalam sosialisasi ini mengungkapkan, bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak paling banyak terjadi di rumah, tempat yang seharusnya aman bagi mereka.

Ada beberapa faktor dominan yang bersifat kolektif sehingga praktik kekerasan ini subur di rumah tangga. Butuh sinergi banyak pihak untuk menangani kompleksitas ini.

“Saya mengajak seluruh pihak, baik pemerintah pusat dan daerah, akademisi, dunia usaha, media massa, maupun masyarakat luas agar berupaya maksimal menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak, terlebih lagi KDRT karena tanpa sinergi yang kuat, masalah ini akan sulit dihapuskan,” terang Menteri Bintang. (*)

Komentar