Semerbak Sere Wangi

kebun serai wangi gayo
Panorama alam menjadi hiburan bagi pekebun sere wangi di Gayo Lues. Foto: Anuar Syahadat

Masyarakat Gayo Lues mulai menemukan kesejahteraan dari berkebun serai wangi. Tak hanya kopi dan nilam.

Oleh Anuar Syahadat

Berkebun sudah menjadi cara mengais rejeki yang lumrah bagi warga Gayo Lues. Hawa dingin tak menyurutkan langkah mereka menuju kaki pegunungan di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser setiap fajar menyingsing.

Ratusan orang berbondong-bondong ke lokasi perkebunan sere (serai) wangi. Setiap mata memandang lereng pegunungan, sere wangi tumbuh rimbun di sela-sela pepohonan pinus. Pemandangan menarik yang tak bisa dijumpai di daerah lain.

Tanaman bernama latin Cymbopogon nardus ini dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi sumber kehidupan masyarakat yang tinggal di Negeri Seribu Bukit. Mulai anak-anak hingga usia senja, memanfaatkan perkebunan sere wangi untuk menopang hidup.

Noviel, remaja yang dijumpai Pikiran Merdeka di Dusun Jabo, Kampung Lempuh, Blangkejeren, Rabu pekan keempat Maret, terlihat asik memotong sere wangi. Dengan terampil, tangan kirinya menggenggam erat sejumput batang sere wangi sementara tangan kanannya menghunus sedep (pisau sadap) untuk menyabit tanaman yang akan diolah menjadi minyak atsiri itu.

“Kami masih libur sekolah, karena kakak kelas sedang mengikuti ujian akhir. Jadi untuk mengisi waktu luang, saya ikut memanen sere milik Paman ini. Nanti hasilnya dibagi,” ujar siswa kelas satu di SMAN 1 Blangkejeren itu.

Noviel ditemani kakeknya, pria beruban yang kerap disapa Empun Randa. Kakeknya merupakan mertua pamannya yang tinggal di Kampung Sere, Kecamatan Blangkejeren.

Hampir setiap hari, Empun Randa membantu memotong dan mengangkat daun sere wangi ke mbinuh (tempat penyulingan), sehingga proses pemanenannya cepat selesai.

Usung Sere Wangi
Empun Randa membantu Noviel mengusung batang sere wangi. Foto: Anuar Syahadat

Empun Randa yang berstatus Imam Kampung Sere ini juga mengajarkan Noviel dan para penyuling cara yang baik dan benar agar proses penyulingan menghasilkan minyak atsiri yang banyak. Sebab, jika salah mengerjakan, sebutnya, minyak sere wangi tak akan keluar dari tempat penyulingan.

Menurutnya, menyuling minyak sere wangi tak mudah. Selain harus memotong dan membawa daun sere wangi ke pondok yang telah disediakan, para penyulingnya juga harus mempersiapkan tempat penyulingan tradisional yang disebut ketel, seperti membuat drum penampungan daun sere, pipa besi yang dialiri air tempat keluarnya minyak, dan membuat priuk yang disuguhkan ke drum yang diisi daun sere.

“Kayu bakarnya harus disiapkan terlebih dahulu, sehingga tidak repot melakukan penyulingan sere wangi. Kalau tidak dibakar, drum berisi air dan daun sere tidak akan mengeluarkan minyaknya,” kata Inen Randa, seorang penyuling, yang didampingi suaminya M Ali warga Kampung Porang, pemilik kebun sere wangi di Jabo itu.

Setiap satu kali penyulingan dengan menuangkan daun sere ke dalam satu drum, biasanya Inen Randa memperoleh minyak 6 – 8 ons. Sehingga dalam sehari, mereka mampu menyuling sere wangi 6 – 7 kali dengan menghasilkan 3 – 4 kg minyak atsiri.

Kuantitas minyak juga tergantung cuaca. “Kalau musim hujan minyaknya lebih sedikit (menghasilkan) dan kayu bakarnya lebih banyak yang habis,” tuturnya.

Pemanenan sere wangi di Kabupaten Gayo Lues biasanya dilakukan warga setiap tiga bulan sekali dengan sekali tanam di awal. Selebihnya hanya merawat dan memanen hingga berpuluh-puluh tahun. Kecuali, sere yang sudah tumbuh besar mengalami kebakaran, sehingga sangat merugikan pemilik karena harus menanam ulang.

“Alhamdulilah, dalam satu hektar sere wangi bisa diperoleh hingga seratus kilo gram minyak, dengan harga sekarang mencapai Rp165 ribu per kilonya,” ujar Inen Randa.

Dia pun merincikan, dalam 1 kg minyak seharga Rp165 ribu, setidaknya Rp65 Ribu untuk balik modal dan meraup untung Rp100 ribu. Modal itu berupa ongkos memotong dan mengangkut sere ke gubuk dan biaya pembelian kayu bakar.

Minyak Atsiri Sere Wangi
Menampung minyak hasil sulingan melalui pipa yang dipasang di bawah tanah. Foto: Anuar Syahadat

Dari hasil perkebunan sere wangi, Inen Randa mampu menyekolahhkan anak sulungnya hingga ke perguruan tinggi, anak keduanya di SMA Unggul Gayo Lues, dan bungsunya ke SD Negeri Percontohan Blangkejeren.

“Bapak (M Ali) memang PNS, tapi gajinya tidak cukup lagi untuk biaya anak sekolah dan membeli beras. Kalau tidak ada kebun sere wangi ini, tidak mungkin kami bisa menyekolahkan anak hingga ke Unsyiah di Banda Aceh yang kini sudah semester delapan,” ujar Inen Randa.

Kebanyakan warga Gayo Lues memilih berkebun sere wangi karena agen penampungnya mau membeli setiap hari untuk diekspor setelah dikumpulkan ke agen induk di Medan. Sudah begitu, harganya pun jarang turun.

Data dari Dinas Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Gayo Lues, jumlah petani sere wangi yang tersebar di 11 kecamatan di Gayo Lues mencapai 2.941 Kepala Keluarga (KK) atau 30% dari total populasi daerah itu yang berjumlah sekitar 80 ribu jiwa. Saat ini tanaman sere wangi menjadi produk unggulan di Gayo Lues, selain nilam dan kopi.[]

Diterbitkan di Rubrik EKONOMI Tabloid Pikiran Merdeka edisi 117 (28 Maret – 3 April 2016)

 

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

Asisten III Setda Aceh Imbau PNS Tinggalkan Perilaku Koruptif
Asisten III Setda Aceh, Syahrul, M.Si, di dampingi kepala dinas Mobilitas Penduduk Kamaruddin Andalah dan Kepala Biro Humas Setda Aceh, Frans Dellian, menyaksikan penandatanganan Pakta Integritas PNS di Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk Aceh, Banda Aceh, Senin, 22 Februari 2016

Asisten III Setda Aceh Imbau PNS Tinggalkan Perilaku Koruptif