ilustrasi

PM, TAPAKTUAN–Kualitas pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah  dr. H Yuliddin Away (RSUD-YA) Tapaktuan dinilai masih belum memuaskan. Ada banyak keluhan dan kritikan dari masyarakat setempat. Kasus terbaru terungkap bahwa warga yang berobat di rumah sakit Pemkab Aceh Selatan itu, sekalipun berstatus pasien sebagai pasien Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh (JKRA), dipaksa harus membeli obat dengan uang sendiri.

 

Seorang keluarga pasien di Tapaktuan, Senin (31/08/2015) mengeluhkan keputusan rumah sakit YA yang mewajibkan pihak keluarga pasien membeli obat menggunakan uang sendiri.

 

“Meskipun kewajiban membeli obat di luar rumah sakit menggunakan uang pribadi itu tidak seluruh obat yang dibutuhkan, melainkan hanya khusus terhadap obat tertentu yang tidak tersedia di rumah sakit, tapi keputusan itu tetap saja memberatkan masyarakat kurang mampu,” kata Hendri, seorang keluarga pasien.

 

Menurut dia, obat yang ditebus di luar memang tidak seberapa harganya, tapi kondisi ini telah menodai program pemerintah yang memberikan pelayanan berobat gratis. Pasalnya, kata dia, banyak obat yang harus dibeli di luar. Oa memisalkan, cairan infus aserin dan salap pun harus beli pakai uang sendiri.

 

“Patut dipertanyakan menejemen RSUD-YA Tapaktuan terhadap pelayanan kesehatan menggunakan kartu BPJS atau JKRA. Ini salah satu bentuk pengebirian hak-hak pasien kurang mampu,” kesalnya.

 

Pengakuan Hendri, untuk kelancaran proses pengobatan anaknya yang masih berumur 2 tahun, pihaknya sudah melengkapi seluruh administrasi  yang dibutuhkan sebagai pasien JKRA. Namun, tetap saja pihak rumah sakit menganjurkan keluarga menebus (beli) obat di luar.

 

“Ternyata kartu JKRA bukan apa-apanya bagi pasien kurang mampu. Saya menilai, kondisi ini bukan hanya dialami keluarga kami. Banyak pasien lain mengalami nasib serupa tapi enggan berkomentar. Praktik yang dilakoni pihak rumah sakit YA merupakan preseden buruk terhadap kualitas pelayanan kesehatan di daerah ini,” ujarnya.

 

Seorang pasien asal Kluet Raya juga menyampaikan rasa kekecewaannya karena harus menebus obat dengan uang pribadi.

 

“Demi kesembuhan, mau tidak mau kami harus membeli obat di luar RSUD YA, walaupun memiliki kartu JKRA.  Sebagai orang awam harus memenuhi apa yang dianjurkan tenaga medis. Kami tidak tahu pengobatan gratis tersebut sejauh mana dan bentuknya bagaimana,” ujarnya.

 

Sistem  E-Catalog

 

Direktur RSUD-YA Tapaktuan, dr. Faisal, SpAn, yang dikonfirmasi secara terpisah mengakui bahwa selama ini memang ada keputusan dari pihaknya yang membebankan pasien atau keluarga pasien menebus obat di luar jika jenis obat yang dibutuhkan itu tidak tersedia di rumah sakit.

 

“Inisiatif ini kami ambil demi untuk kelancaran proses pengobatan, sebab sejak seminggu terakhir ketersediaan obat di rumah sakit ini sedang dalam kondisi menipis,” ujarnya.

 

Menurut dia, penyebab terjadi kekurangan obat di RSUD-YA Tapaktuan  karena sistem pembelian obat sekarang ini diharuskan secara E-Catalog. Pasien peserta JKRA maupun Askes yang bernaung di bawah BPJS Kesehatan harus membeli obat dari luar.

 

“Sebenarnya obat-obatan yang diperlukan itu sudah lama kami pesan, tapi sampai hari ini belum tiba. Ini sebuah kendala besar yang dialami pihak rumah sakit, bukan hanya di Aceh Selatan, kondisi ini juga terjadi di daerah lain bahkan secara nasional,” jelas Faisal.

 

Kepala Kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Cabang Tapaktuan yang dikonfirmasi melalui Kabid Pelayanan, Junaidi SKM, mengatakan, secara teknis obat-obatan di rumah sakit merupakan  tanggung jawab pihak rumah sakit.  Tugas BPJS Kesehatan hanya sebatas membayar seluruh klaim yang diajukan dengan sistem paket.

 

“Terkait persoalan kekurangan obat itu bukan urusan atau bukan ranah kami, itu tanggung jawab pihak rumah sakit karena pengadaan obat langsung mereka yang tangani melalui distributor yang ditunjuk. Pihak BPJS Kesehatan hanya bertugas membayar klaim yang diajukan dalam bentuk satu paket, yakni telah termasuk Pelayanan, Asuransi Kesehatan dan Obat-obatan,” kata Junaidi.

 

Menurutnya, pemberlakuan aturan pengadaan obat melalui sistem E-Catalog bukan sebuah alasan sehingga timbulnya persoalan kekurangan obat. Pihak rumah sakit, kata dia, berkewajiban menyediakan obat secara lengkap setiap harinya, sebab masyarakat tetap menuntut kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan itu memuaskan.

 

“Masyarakat tidak tahu jika timbulnya krisis obat itu akibat pemberlakuan aturan E-Catalog. Seharusnya, tenaga medis khususnya dokter yang menangani pasien di rumah sakit tersebut, sebelum mengeluarkan esep obat harus berkonsultasi terlebih dulu dengan tenaga medis yang mengurusi bagian obat-obatan, apakah resep obat yang akan dikeluarkan itu masuk dalam daftar obat-obatan yang di sediakan dalam E-Catalog atau tidak,” paparnya.

 

[PM004]

Komentar