PM, SIGLI – Keahlian dalam menangani dan merawat situs Islam ditampilkan secara langsung oleh para relawan dan ahli sejarah dalam kegiatan Meuseuraya Akbar yang digelar oleh Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (MAPESA) di Desa Cot Geunduk, Kecamatan Pidie, Rabu (28/5/2025). Kegiatan ini menjadi sorotan karena menampilkan proses nyata pemulihan situs sejarah, khususnya pemeliharaan batu nisan yang sarat nilai budaya dan keagamaan.
Acara yang didukung oleh Kementerian Kebudayaan dan LPDP melalui program Dana Indonesiana ini turut dihadiri dan disaksikan langsung oleh kalangan masyarakat Pidie dan sekitarnya. Acara ini bukan hanya menjadi ajang pelestarian tradisi, tetapi juga menjadi ruang edukasi langsung bagi masyarakat mengenai teknik dan prinsip konservasi benda cagar budaya, khususnya batu nisan bersejarah yang banyak ditemukan di Aceh.
Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah I Aceh, Piet Rusdi mengatakan bahwa kemampuan penanganan situs Islam di Aceh yang dilakukan MAPESA ini merupakan contoh bagi penanganan situs Islam di daerah lain di Indonesia.
Menurut Ketua Panitia, Iskandar Tungang, kegiatan ini dirancang sebagai bentuk edukasi publik sekaligus penghormatan terhadap situs makam leluhur. Dalam sesi utama, para peserta diajak menyaksikan bagaimana proses pembersihan, dokumentasi, hingga pelurusan posisi batu nisan dilakukan secara hati-hati dan sesuai kaidah arkeologi.
“Penanganan batu nisan kuno tidak bisa sembarangan. Kita harus pahami nilai sejarah, makna inskripsi, dan cara terbaik merawatnya agar tetap utuh bagi generasi mendatang,” ujar Iskandar, Rabu (28/5/2025).
Ia menambahkan bahwa di Cot Geunduk terdapat sejumlah makam kuno yang diyakini berasal dari masa-masa awal Islam berkembang di wilayah Pidie. Sebagian besar batu nisannya telah terkubur atau miring karena faktor usia dan alam, sehingga butuh pemulihan secara profesional.
Selain pertunjukan teknik konservasi, acara juga dirangkai dengan khanduri jeurat, yakni tradisi kenduri di makam yang menjadi bentuk penghormatan kepada leluhur. Dalam suasana khidmat, panitia menyajikan delapan paket besar kari daging sapi khas Pidie kepada masyarakat setempat dan para tamu undangan.
Sejumlah pelajar dan mahasiswa terlihat mencatat dan berdiskusi langsung dengan para penggiat sejarah mengenai teknik identifikasi batu nisan, penggunaan alat, hingga cara merekam data sejarah dari situs yang ditemukan.
“Kalau sudah begini kondisi nisannya, kalau sudah kita ketahui wajib kita angkat, kalimah tauhid sudah tenggelam. Kalau tidak kita angkat kita yang berdosa, terinjak-injak kalimah tauhid, kalimah-kalimah yang harus kita tinggikan,” ujar Hasan Basri, salah seorang anggota MAPESA di lokasi pemakaman.
MAPESA berharap kegiatan seperti ini bisa diperluas ke daerah-daerah lain di Aceh yang kaya akan situs makam Islam, dan mampu mendorong keterlibatan generasi muda dalam pelestarian sejarah.
“Kami ingin membuktikan bahwa pelestarian sejarah itu bukan sekadar wacana, tapi tindakan nyata. Meuseuraya ini adalah panggung kita untuk memperlihatkan itu,” demikian disampaikan Iskandar. [rel]
Belum ada komentar