KKJ Kecam Pembatasan Jurnalis saat Liputan Bencana Sumatera

WhatsApp Image 2025 12 19 at 16.53.19
Koalisi masyarakat sipil menggelar aksi demonstrasi mendesak penetapan status darurat bencana nasional, Kamis (18/12/2025) di depan Mesjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Dalam orasinya massa juga mengecam praktik pembatasan dan intimidasi terhadap jurnalis yang meliput bencana di Aceh. [Dok. Pikiran Merdeka]

PM, Banda Aceh – Dalam beberapa hari terakhir, pembatasan terhadap pemberitaan bencana di Sumatera terjadi secara masif dan sistematis. Hal ini mendapat sorotan dari Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ).

“Polanya jelas dan berbahaya. Mulai dari intimidasi aparat TNI terhadap jurnalis Kompas yang meliput bantuan internasional, penghapusan total pemberitaan bencana di detik.com, hingga penghentian siaran dan praktik sensor diri oleh CNN Indonesia TV terhadap laporan langsung dari lokasi bencana,” terang Erick Tanjung, Koordinator KKJ dalam siaran persnya, Jumat (19/12/2025).

Laporan-laporan tersebut, ujarnya, menampilkan kondisi faktual di lapangan yang bertolak belakang dengan narasi resmi pejabat negara. Rangkaian peristiwa ini menunjukkan adanya upaya serius untuk mengendalikan arus informasi publik dan menutup fakta.

Atas dasar itu, KKJ menyampaikan sejumlah pandangan. Pertama, kemerdekaan pers terus ditekan dan dilemahkan. Pembatasan dan intimidasi terhadap jurnalis merupakan serangan langsung terhadap kemerdekaan pers, yang tidak dapat dipisahkan dari kebebasan berekspresi dan hak warga negara untuk mengetahui.

“Kemerdekaan pers adalah indikator utama kebebasan sipil dan kualitas demokrasi. Tindakan intimidasi terhadap jurnalis secara langsung bertentangan dengan jaminan perlindungan hukum yang diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,” tegasnya.

Lebih dari itu, KKJ juga menyatakan bahwa perbuatan tersebut memenuhi unsur pidana menghalang-halangi kerja jurnalistik sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU Pers. Perlu ditegaskan bahwa upaya perdamaian secara informal tidak menghapus unsur pidana dari tindakan melawan hukum tersebut.

Berikutnya, KKJ juga menganggap negara diduga aktif membatasi hak atas informasi warga negara. Pembatasan pemberitaan bencana merupakan pelanggaran serius terhadap hak atas informasi, yang merupakan hak asasi dan hak konstitusional warga negara.

Hak ini dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk memperoleh dan menyampaikan informasi. Dalam konteks bencana, pembatasan informasi bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga mengancam keselamatan publik.

“Upaya penyeragaman narasi dan pengaburan fakta menunjukkan kehendak negara untuk mengontrol pengetahuan masyarakat dan mengancam kebebasan pers,” tudingnya.

Selanjutnya, KKJ menganggap negara berpotensi menjadi produsen disinformasi. Intervensi negara terhadap pemberitaan, termasuk dugaan perintah untuk menghentikan liputan bencana, merupakan praktik manipulasi informasi.

“Ketika ruang verifikasi, kritik, dan kontrol publik ditutup, pernyataan pejabat yang keliru atau menyesatkan dibiarkan hadir tanpa koreksi,” kata dia.

Erick mengatakan praktik ini bertentangan dengan prinsip negara hukum dan demokrasi, serta melanggar kewajiban negara untuk menyediakan informasi yang benar sesuai dengan prinsip keterbukaan, akurasi, dan kepentingan publik.

Keseluruhan pelanggaran ini memperlihatkan wajah negara yang secara terang-terangan membatasi hak warganya sendiri.

Di samping itu, pihaknya menegaskan perusahaan media juga tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya.

“Media memiliki mandat sebagai kontrol sosial dan ruang check and balances terhadap kekuasaan, bukan justru menjadi bagian dari mekanisme pembungkaman,” ujarnya.

Berdasarkan hal-hal tersebut, KKJ mendesak beberapa hal:

  1. Presiden RI untuk menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada seluruh jurnalis yang mengalami intimidasi dan pembatasan dalam peliputan bencana di Sumatera, serta segera menetapkan Status Bencana Nasional;
  2. Presiden RI untuk menjamin perlindungan penuh terhadap kerja-kerja pers, khususnya di wilayah bencana, dan memastikan publik memperoleh informasi yang akurat dan faktual;
  3. Presiden RI untuk memerintahkan seluruh pejabat negara menghentikan penyampaian pernyataan yang tidak akurat, menyesatkan, dan bertentangan dengan fakta di lokasi bencana;
  4. Dewan Pers untuk secara aktif mendorong dan menekan negara agar memenuhi kewajibannya dalam melindungi kemerdekaan pers, terutama di situasi bencana;
  5. Perusahaan media untuk menjamin keselamatan dan perlindungan jurnalis serta pekerja media, dan menolak terlibat dalam segala bentuk pembatasan, sensor, maupun pengaburan informasi terkait bencana di Sumatera.

Komite Keselamatan Jurnalis dideklarasikan di Jakarta pada 5 April 2019 sebagai aliansi strategis untuk melawan impunitas atas kasus kekerasan terhadap jurnalis.

Komite ini terdiri dari 11 organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil, yaitu: Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, SAFEnet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesty International Indonesia, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Pewarta Foto Indonesia (PFI). []

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

1000647024
Pj Gubernur Aceh Bustami Hamzah, saat melakukan perjanjian kerjasama (PKS) antara Kemenpora dengan KONI dan PB PON XXI Aceh - Sumut wilayah Aceh dan Sumatera Utara, di Kemenpora RI, Jakarta Pusat, Kamis, 11 Juli 2024. [Foto: Istimewa]

Pj Gubernur Aceh Lakukan Penandatanganan PKS Penyelanggaraan PON XXI di Kemenpora