Setelah pengusulan PAW Adam Mukhlis di DPRA, kebijakan Partai Aceh merecall Makhrum Thahir juga memantik persoalan baru. Keretakan di tubuh PA semakin melebar?
Internal Partai Aceh kembali gaduh. Setelah dua pekan lalu salah seorang kadernya yang tercatat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Jainuddin yang tertangkap memakai sabu, kini partai lokal ini kembali dibuat sibuk dengan gugatan kadernya di Pengadilan Negeri Banda Aceh.
Hal ini mengulang ingatan publik terkait gugatan Adam Mukhlis pada awal Juni lalu yang tak terima dilengserkan (Pergantian Antar Waktu) dari kursi dewan. Kini, perlawanan serupa datang dari Ir Makrum Thahir.
Makrum yang dikenal sebagai salah satu orang kepercayaan Hasbi Abdullah, adalah pemilik suara terbanyak pada Pileg 2014 di Daerah Pemilihan (Dapil) II (Pidie-Pidie Jaya). Ia merasa heran dengan keputusan tersebut.
Usulan PAW untuk Makrum tertuang dalam surat tertanggal 11 Juli 2017 dengan nomor 108/DPA-PA/VII/2017, yang ditandatangani oleh ketua DPA PA Muzakir Manaf (Ketua Umum) dan Mukhlis Basyah (Sekjen).
Isi surat tersebut, DPA PA mengajukan pergantian antar waktu terhadap Makrum dan mengusulkan Dahlan Jamaluddin SIP sebagai pengganti di Parlemen Aceh. Surat usulan itu ditujukan kepada DPR Aceh dan tembusannya Ketua Tuha Peut Partai Aceh, Gubernur Aceh, Ketua KIP Aceh, Kadis Kesbangpol Linmas, Ketua Fraksi PA, dan Makrum Tahir.
Atas sikap Partai Aceh tersebut, Makrum Thahir kemudian melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh, dengan menunjuk Muhammad Isa Yahya SH dkk sebagai kuasa hukum.
Gugatan tersebut didaftarkan pada tanggal 2 Agustus 2017 lalu, dengan nomor 43/Pdt.G/2017/PN Bna. Dalam gugatan itu, Makrum melalui kuasa hukumnya menyatakan menolak di-PAW-kan.
Muhammad Isa kepada Pikiran Merdeka, Kamis (17/8), mengatakan, alasan pihaknya menolak PAW tersebut karena tanpa dasar hukum yang jelas, sehingga telah merugikan kliennya. Gugatan yang dilayangkan kliennya tidak hanya ditujukan kepada Partai Aceh sebagai tergugat I. Namun juga terhadap DPRA (tergugat II), KIP Aceh (Tergugat III), Gubernur Aceh (Tergugat IV) dan Mendagri Cq Gubernur Aceh (tergugat V).
Saat ini, kasus tersebut telah memasuki masa persidangan. Terhadap gugatan itu, majelis hakim PN Banda Aceh yang diketuai Supriadi SH MH, Selasa (15/8), menggelar sidang perdana dengan agenda pembacaan gugatan. Namun, sidang perdana tersebut gagal terlaksana akibat para tergugat tidak hadir. Majelis hakim pun menunda sidang satu minggu ke depan atau digelar kembali pada Selasa (22/8).
Gugatan Adam Mukhlis yang lebih awal, hingga kini juga masih disidangkan. Adam yang tak terima di-PAW menggugat ke tiga lembaga: Gubernur, DPRA dan KIP Aceh. Darwis SH dan T Rachmad Kurniawan selaku kuasa hukum Mukhlis mendaftarkan berkas gugatan itu ke Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh dengan nomor 38/Pdt.G/2017/PN Bna, tanggal 11 Juli 2017.
“Selama ini tak ada pemberitahuan apapun kepada Adam Mukhlis soal PAW, sementara proses terus dilakukan, maka kami menggugatnya,” kata Darwis saat dihubungi Pikiran Merdeka, Jumat, 15 Juli lalu.
Namun bedanya dengan gugatan Makrum Thahir, gugatan Adam kala itu tidak ada satu pun yang ditujukan pada PA sebagai pihak yang mengajukan usulan PAW terhadap Adam Mukhlis. “Kami menggugat KIP, DPRA, dan Gubernur karena pihaknyalah yang mengeksekusi keputusan Menteri Dalam Negeri. Sedangkan partai adalah pemohon,” terang Darwis.
Karena prosesnya masih berada di tingkat gubernur, ia meminta supaya permohonan PAW itu tidak diteruskan sampai proses hukum selesai. Lagipula Darwis mengakui, keberatan terhadap partai pengusung layaknya disampaikan secara personal ke mahkamah partai. Sementara PA tidak memiliki mahkamah partai.
DIZALIMI PARTAI
Berulangkali Pikrian Merdeka berusaha bertemu Makrum Thahir, namun tak berhasil. Melalui salah seorang kuasa hukumnya, Mamfaluthy, ia hanya menitip pesan kekecewaannya kepada partai. Makrum mengaku dizalimi oleh partainya yang secara sepihak mengusulkannya untuk diganti.
Menurut Mamfaluthy, ada tanda tanya besar terkait dengan alasan diusulkannya PAW terhadap kliennya oleh DPA PA. Terlebih, usulan pergantian antar waktu itu dilakukan tanpa pemberitahuan sedikitpun terhadap Makrum. Pimpinan Partai Aceh juga tidak pernah melakukan pemanggilan atau memintai pendapat kliennya untuk digantikan sebagai anggota dewan.
Bahkan, kata Mamfaluthy, kliennya mengetahui akan di-PAW dari pihak lain yang tidak terkait sama sekali dengan kasus ini. “Artinya, klien kami tidak pernah tahu akan dilakukan recall,” ujarnya.
Parahnya lagi, Makrum disebut kedua kuasa hukumnya tidak pernah mempunyai kesempatan untuk menyelesaikan perkara ini secara internal partai. Terbukti dari tidak ada selembar surat pun, termasuk surat usulan pergantian antar waktu dan surat pemecatan yang sampai ke tangan kliennya.
“Tidak pernah ada selembar surat pun disampaikan kepada klien kami. Perihal di-PAW pun diketahui dari pihak lain. Seolah-olah ingin ditutupi dan mencoba menyingkirkan klien kami dengan cara-cara yang picik dan tidak bijaksana,” bebernya.
Mamfaluthy juga menyayangkan atas ketidakhadiran pihak DPA PA sebagai tergugat I dan beberapa tergugat lainnya pada sidang perdana di Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh pada tanggal 15 Agustus 2017.
“Tindakan DPA-PA tidak datang ke PN kami simpulkan sebagai tindakan yang melecehkan dan meremehkan serta tidak menghargai aparatur penegak hukum. Selain itu, mungkin saja mareka (DPA-PA) tidak mampu memberikan penjelasan hukum terkait dengan diusulkannya PAW secara semena-mena terhadap klien kami,” pungkasnya
Wakil Ketua Dewan Pimpinan Aceh (DPA) Partai Aceh Kamaruddin Abubakar membenarkan adanya surat pergantian antar waktu yang sudah diteken oleh Ketua Umum PA Muzakir Manaf. Namun, ia menolak bicara lebih lanjut dan mengaku tak mengetahui detil proses pergantian tersebut. “Silahkan tanyakan langsung kepada Juru Bicara PA atau kepada Mualem langsung,” elaknya saat dikonfirmasi Sabtu, 19 Agustus 2017.
Sementara usaha menghubungi Jubir PA Suaidi Sulaiman tak membuahkan hasil. Ia tak menjawab berbagai upaya konfirmasi yang dilakukan Pikiran Merdeka. Pesan melalui layanan WhatsApp juga tak digubris meski telah diterima dan dibacanya.
KETENTUAN PAW
Sebagaimana tertera dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) pasal 405 ayat 1 menyebutkan ada tiga poin yang dapat mengakibatkan anggota DPRD kabupaten/kota berhenti antar waktu. Pertama, karena meninggal dunia, kedua, karena permohonan pengunduran diri oleh anggota DPRD sendiri, dan ketiga karena diberhentikan.
Pada ayat 2 lebih lanjut dijelaskan bahwa pemberhentian yang dimaksud pada ayat pertama berdasarkan beberapa syarat. Antara lain, anggota dewan yang bersangkutan tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPRD kabupaten/kota selama tiga bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun. Selain itu, melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD kabupaten/kota. Kemudian PAW juga bisa dilakukan karena anggota dewan tersebut telah dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum.
Alasan lainnya, PAW diajukan lantaran anggota DPRD tersebut tidak menghadiri rapat paripurna atau rapat alat kelengkapan DPRD kabupaten/kota yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, atau PAW tersebut memang diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. PAW juga bisa diusulkan jika ada anggota dewan yang diberhentikan sebagai anggota partai politik, maupun menjadi anggota partai politik lain.
Kuasa hukum Makhum, Muhammad Isa mengatakan bahwa kliennya tidak pernah melakukan perbuatan hukum, baik secara pidana maupun melanggar ketentuan AD/ART dari Partai. “Secara hukum dan mekanisme berlaku untuk PAW partai politik di Aceh, juga harus didasari atas meninggalnya anggota dewan dan juga melakukan pelanggaran hukum maupun kode etik. Klien kami juga tidak pernah melakukan suatu ikatan hukum, atau perjanjian politik dengan calon yang diusulkan oleh partai untuk menggatikan posisinya sebagai anggota,” tegasnya.
Untuk itu, kata dia, tergugat harus dapat membuktikan bahwa penggugat telah melakukan suatu perbuatan yang melawan hukum dan melanggar kode etik yang dapat mengakibatkan kerugian bagi tergugat I dan tergugat II. Pada dasarnya, diakui Muhammad Isa, jika PAW dilakukan sesuai dengan prosedur dan ketentuan UU maka mungkin saja kliennya dengan legewo akan menerima keputusan partai. Namun pada kenyataannya, kata Muhammad Isa, tidak demikian.
“Sesuai dengan ketentuan PP Nomor 20 tahun 2007 Pasal 16, klien kami hanya mempertahankan haknya yang telah dirampas secara semena-mena. Namun, jika melihat proses demokrasi yang berlansung sebelumnya, tidak hanya haknya secara pribadi yang dipertahankan akan tetapi kepercayaan atau amanah dari rakyat yang telah mempercayakannya sebagai perwakilan mareka di DPRA,” tambahnya.
Membawa perkara ini ke ranah hukum, sambung dia, merupakan upaya terakhir dalam menyelesaikan perkara tersebut. “Artinya, klien kami tidak pernah mempunyai kesempatan untuk menyelesaikan perkara ini secara internal partai,” ungkapnya.
TERKESAN DIPAKSAKAN
Pengamat politik dari Jaringan Survei Inisiatif (JSI) Aryos Nivada mengatakan, pengajuan PAW yang dilakukan DPA PA terhadap Makrum tidak memiliki dasar kuat. Bahkan, kata dia, jika dilihat dan dipelajari selama menjadi anggota DPRA, Makrum Thahir tidak pernah melakukan kesalahan.
“Dasar mengajukan PAW itu apa? Karena saya mengikuti kasus ini dan melihat tidak ada dasar yang kuat untuk mengajukan PAW terhadap Makrum,” ujar Aryos, Sabtu lalu.
Aryos menilai, usulan PAW ini terkesan terlalu dipaksakan oleh pimpinan Partai Aceh. Bahkan, Aryos menduga ada indikasi jika PAW ini adalah ambisi calon pengganti untuk duduk menjadi anggota dewan di Parlemen Aceh. “Tidak tertutup kemungkinan, calon pengganti telah membangun komunikasi atau perjanjian dengan internal partai untuk menggantikan (PAW) saudara Makrum dengan dirinya,” ungkap Aryos.
Meski demikian, Aryos mengatakan, jika nanti ditemukan adanya kesepakatan atau perjanjian untuk digantikan antara Makrum Thahir dengan Dahlan Jamaluddin, hal itu harus menjadi perhatian serius pimpinan partai. Selain itu, sambung dia, Makrum juga harus tunduk dan mentaati semua kesepakatan dan keputusan yang diambil oleh partai.
“Tapi jika kita lihat perolehan suara saat Pileg lalu, Makrum menang dengan suara terbanyak di Dapilnya dan mendapatkan kursi penuh, bukan ‘kursi patah’. Jadi, saya rasa tidak ada perjanjian politik antara keduanya,” sambung Aryos.
Lebih lanjut Aryos mengatakan, masalah yang saat ini terjadi di tubuh Partai Aceh iharus segera diselesaikan dan mendapat perhatian serius dari pucuk pimpinan partai. Terlebih, saat ini banyak kader Partai Aceh hijrah ke partai lokal lain seperti PNA. Belum lagi, konflik internal partai yang membuat tokoh-tokoh di Partai Aceh menjadi pecah dan bergabung dengan partai politik lain.
“Ini harus jadi perhatian serius pimpinan partai. Apa lagi saat ini PA bukan lagi partai penguasa di Aceh dan banyak kader hijrah ke partai lain. Jika tidak, ini akan berpengaruh pada Pemilu yang akan datang,” pungkasnya.[]
Belum ada komentar