Nek Maryam (60) warga Geudong Tampu, Jeumpa, Bireuen saat menyulam keranjang toge dari daun kelapa di rumahnya. (PM/Joniful Bahri)

Kerajinan keranjang toge dari nyiur kelapa sudah tersulam dalam kehiupan masyarakat Geudong Tampu secara turun-temurun. Kini sumber pendapatan mereka terancam munculnya kompetitor dan pemerintah tak peduli.

Oleh Joniful Bahri

Gampong Geudong Tampu, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Bireuen, terkenal dengan pusat kerajinan keranjang anyaman toge. Hampir semua perempuan dari Dusun Damai dan Dusun Aman desa pesisir ini menekuni anyaman daun kelapa.

Mereka menjadikan kreativitas itu sebagai sumber mata pencaharian. Nek Maryam (60) misalnya. Usianya memang senja. Tapi ia cekatan mengatur bilah-bilah atau lembaran-lembaran nyiur kelapa secara tindih-menindih dan silang-menyilang. Perlahan sulamannya membentuk bundar hingga menjadi sebuah keranjang toge.

Maklum, Nek Maryam sudah melakoni kegiatan anyaman ini sejak duduk di bangku SMP dulu. Begitupun Syaribanun (47), perempuan Geudong Tampu lainnya. Keterampilan membuat keranjang anyaman malah didapatnya sejak duduk di bangku sekolah dasar. Kala itu dia belajar secara otodidak dari keluarga lain.

Rata-rata keluarga di Geudong Tampu, remaja putri dan anak-anak, memiliki keterampilan menganyam daun kelapa. Rutinitas ini dilakukan mulai pagi hingga sore hari. Tapi akan dikerjakan pada malam hari sebelum tidur, jika sedang musim bercocok tanam di sawah.

Bahan baku daun kelapa basah dibeli dari beberapa desa di Bireuen dan Pidie Jaya. Kemudian dijemur sejenak untuk membuatnya layur sehingga mudah saat dianyam.

Dalam sepekan, para perajin seperti keluarga Nek Maryam bisa menghasilkan hingga ratusan keranjang siap jual kepada agen pengumpul yang datang ke desanya setiap sepekan sekali.

“Biasanya setelah kita rajut anyaman ini, sepekan ke depan baru ada yang membelinya. Rata-rata pihak agen pengumpul yang membeli dan kembali dijual untuk dipasarkan ke sejumlah kota di Aceh,” katanya.

Agen pengumpul biasa membeli dari mereka sekitar Rp 2.500 per keranjang untuk dijual lagi sekitar Rp 3.000. Sementara perajin beli bahan baku berupa pelepah daun kelapa dari agen lainnya seharga Rp 1.000 per keranjang.

Diakui Nek Maryam, pemasukan dari penjualan keranjang toge anyaman itu tidak sesuai dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan. Tapi kerajinan itu sudah mentradisi di Gampong Geudong Tampu.

“Mau tidak mau harus dilakukan meski pendapatannya tidak sesuai,” ujar Nek Maryam.

Sekdes Geudong Tampu, Fitriani, menjelaskan, sekitar 90 dari 165 KK di dua dusun Desa Geudong Tampu memiliki sentral kerajinan anyaman daun kelapa.

Umumnya mereka bekerja dari modal pribadi atau keluarga, sebab sejauh  ini belum pernah mendapat perhatian atau bantuan dari Pemerintah Daerah, termasuk pembinaan terhadap sentral kerajinan desa.

“Kalau pendataan atau permintaan pemilik sentral industri anyaman dari Disperindagkop dan UKM Bireuen  ini sudah sering, bahkan hampir setiap tahun. Tapi itupun hanya sekedar mendata saja,” ujarnya.

Ia juga menerangkan, seluruh produk hasil anyaman warga Geudong Tampu belakangan ini dijual oleh agen ke sejumlah daerah, baik di Kota Bireuen, Matanggeulumpang Dua, Lhokseumawe, Panton Labu, Tekengon, Pidie hingga Langsa.

Pernah, masa sebelum sebelum konflik Aceh, keranjang toge hasil kerajinan masyarakat Geudong Tampu dipasarkan hingga ke Medan, Sumetara Utara, terutama yang berukuran besar.

“Tapi belakangan ini permintaan di sana mulai menurun  karena di Medan telah ada sentral kerajinan yang sama seperti masyarakat Geudong Tampu,” tuturnya.

Dulunya, mereka juga membuat keranjang khusus untuk jeruk bali, terutama untuk dipasarkan ke Matanggeulumpang Dua, Peusangan. Namun sebut Fitriani, permintaan keranjang jeruk bali belakangan menurun karena warga Peusangan juga sudah bisa membuatnya sendiri.

Di balik persoalan pemasaran dan tak adanya dukungan Pemda, Geudong Tampu kini menjadi ikon desa penghasil kerajinan keranjang toge anyaman di Bireuen. Sampai kapan usaha perempuan gigih ini tak diperhatikan?[]

Komentar