Elit PA Merajuk Lagi Foto Oviyandi Emnur

Para politisi Partai Aceh mengancam mundur berjamaah bila Mahkamah Konstitusi tidak menggunakan UUPA dalam menyelesaikan sengketa Pilkada. Dinilai manuver politik level rendah.

Di ruang Fraksi Gerindra DPR RI kawasan Senayan, Jakarta, Suaidi Yahya angkat bicara, Jumat siang pekan lalu. Ditemani puluhan koleganya, politisi Partai Aceh yang juga Wali Kota Lhokseumawe terpilih ini mendesak Mahkamah Konstitusi mengakomodasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh atau UUPA saat memproses penyelesaian sengketa Pilkada di Aceh.

Hari itu Suaidi ditemani Ketua DPR Aceh Muharuddin, anggota DPR Aceh Azhari Cage, anggota DPD RI Fachrul Razi, dan Ketua DPRK Lhokseumawe M Yasir Umar. Tampak juga Ketua PKS Aceh Gufron Zainal. PKS, sama halnya seperti Gerindra, merupakan partai pengusung pasangan Muzakir Manaf-TA Khalid.

Suaidi mengatakan seluruh kader Partai Aceh yang sekarang berada di eksekutif dan legislatif akan mengundurkan diri dari jabatan jika keinginan mereka tersebut tak dikabulkan MK. “Karena kami sia-sia duduk dalam pemerintah. Adanya kami dalam pemerintah daerah dikarenakan adanya UUPA,” ujar Suaidi diiringi anggukan kepala para politisi yang hadir.

Iklan Ucapan Selamat Pelantikan Reza Saputra sebagai Kepala BPKA dari ESDM

Ketua DPRK Lhokseumawe M Yasir Umar juga bersuara senada. “Saya bersama anggota DPRK dari PA akan memilih mundur saja dari DPRK, kalau tak dianggap lagi UUPA,” ujar Yasir seperti dikutip aceh.tribunnews.com.

Sementara Wakil Ketua Komisi I DPR Aceh Azhari Cage mengatakan jika MK tidak menggunakan UUPA, posisinya di dewan juga berstatus ilegal. “Sebab kami masuk legislatif melalui partai berdasarkan UUPA. Ini harus jadi perhatian. Saya dan semua anggota PA akan ramai-ramai meninggalkan DPRA,” tukas Azhari.

Adapun Ketua DPR Aceh Muharuddin menegaskan, jika tidak menggunakan UUPA para calon lainnya dalam Pilkada harus gugur semua. “Sebab mereka itu terdaftar sebagai pasangan calon landasannya UUPA dan Qanun Pilkada,” ujar Muharuddin. Ia bahkan menyebutkan akan ada aksi besar-besaran dari anggota legislatif Aceh baik di kabupaten maupun provinsi, apabila MK mengenyampingkan UUPA tersebut.

Gertakan para politisi PA itu dicetuskan sehari setelah Mahkamah Konstitusi menggelar sidang perdana perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP Kada) untuk sejumlah daerah di Provinsi Aceh. Perkara tersebut antara lain PHP Provinsi Aceh (31/PHP.GUB-XV/2017), Kabupaten Aceh Timur (4/PHP.BUP-XV/2017), Kabupaten Nagan Raya (23/PHP.BUP-XV/2017), Kabupaten Bireun (16/PHP.BUP-XV/2017), dan Kabupaten Pidie (15/PHP.BUP-XV/2017).

Perkara-perkara ini digelar bersamaan di ruang sidang lantai empat gedung Mahkmah Konstitusi, Kamis pekan lalu. Sebagai pemohon untuk perkara perselisihan Pilkada Gubernur, pasangan Muzakir Manaf-TA Khalid didampingi kuasa hukumnya Yusril Ihza Mahendra, Agus, dan Mukhlis Mukhtar.

Sementara sebagai termohon dari KIP Aceh dihadiri Ketua KIP Aceh Ridwan Hadi dan kuasa hukumnya Ainal Hukman serta Nasrul Latief Soe’oed. Adapun dari pihak terkait, Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah diwakili kuasa hukumnya Sayuti Abubakar, Asfili Ishak, Imran Mahfudin, dan Isfanuddin Amir.

Baca : Irwandi Yusuf: Jika Lelah Minta di-PAW-kan

Pasangan calon Muzakir Manaf-TA Khalid menyebut terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif dalam Pilkada Aceh. Dalam sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman, kuasa hukum pemohon Mukhlis Mukhtar memaparkan pasangan calon Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah menang dengan perolehan suara mencapai 898.710. Adapun pemohon memperoleh sejumlah 766.427 suara dari total pemilih sah sebanyak 2.414. 801. Menurut Mukhlis, kemenangan Irwandi-Nova didasarkan atas kecurangan.

“Telah terjadi pelanggaran yang ditemukan Panwaslih Aceh berupa adanya penggelembungan suara di Kabupaten Aceh Tengah kepada pihak terkait. Ini terjadi saat rekapitulasi suara di tingkat Provinsi oleh Termohon tanggal 25 Februari 2017,” ujar Mukhlis.

Selain itu, kata Mukhlis, dua minggu jelang pemungutan suara, terjadi mobilisasi aparat keamanan secara besar-besaran ke wilayah Provinsi Aceh. Hal tersebut, menurutnya, berdampak pada keresahan masyarakat. Di saat yang bersamaan, kata Mukhlis, warga kerap melihat aparat keamanan keluar masuk kampung dengan bersenjata lengkap. “Pemohon juga menemukan adanya aparat keamanan berada di dalam TPS saat pemungutan suara hingga rekapitulasi suara. Hal ini tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku,” ujar Mukhlis.

Ia juga mengungkapkan pelanggaran dan kecurangan masif yang diduga dilakukan KIP Aceh berkaitan dengan dokumen Cl-KWK. Misalnya, kata Mukhlis, indikasi penggelembungan suara. Jumlah suara yang tidak sah berbeda dengan model Cl-KWK, dan tanda tangan saksi-saksi yang berbeda antara C-KWK dan Lampiran Cl-KWK.

Mukhlis juga menyebut dalam permohonannya, tidak tepat jika MK menggunakan aturan hukum nasional terkait ambang batas suara sesuai Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. “Berdasarkan UUPA BAB X Pasal 65 sampai dengan Pasal 74 telah mengatur secara khusus tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota,” ujar Mukhlis.

Keterangan Mukhlis itu ditambahkan Yusril Ihza Mahendra. Selain UUPA, kata Yusril, telah ada Qanun nomor 12 Tahun 2006 Tentang Pilkada Aceh. Tak hanya itu, Yusril juga meminta pertimbangan hakim terkait pencalonan Irwandi Yusuf. “Saudara Irwandi Yusuf maju ke Pilkada Aceh dengan dukungan partai politik 16,34 persen. Kalau menggunakan Undang-Undang Pilkada, dia tidak memenuhi syarat. Tapi kalau menggunakan Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang hanya mengatur 15 persen, dia memenuhi syarat,” ujar Yusril. Jika kemudian terjadi perselisihan, tambah Yusril, UUPA yang digunakan, bukan UU Pilkada.

Sebelumnya, dalam berkas permohonannya seperti tertera di situs resmi MK, pasangan calon Muzakir Manaf-TA Khalid menuliskan, berdasarkan UUPA perselisihan hasil pilkada Aceh tidak mengenal adanya ambang batas suara pemilihan. Hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 158 UU Pilkada yang mengatur ambang batas.

“Sehingga sudah seharusnya Mahkamah Konstitusi untuk mengenyampingkan pasal 158 dalam penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah untuk Provinsi Aceh sesuai dengan asas Lex Spesialis derogat lex generalis,” ujar Yusril.

Jika mahkamah menggunakan pasal tersebut, kata dia, konsekuensinya pasangan calon nomor enam yakni Irwandi-Nova harus digugurkan karena tidak mengacu pada sistem nasional dalam hal persentase jumlah dukungan. “Barangkali juga kalau sekiranya pasal-pasal dalam Undang-Undang Pemerintah DKI tidak dianggap berlaku, maka Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot otomatis sudah menang dalam pilkada karena menurut sistem nasional adalah suara terbanyak. Sementara UndangUndang DKI mengatakan harus 50+. Itu mohon dipertimbangkan lex specialis yang berlaku di Aceh dan juga berlaku di Jakarta,” ujar Yusril. Ia meminta mahkamah dalam mengadili perkara itu mengacu pada ketentuan UUPA sejak proses tahapan hingga penyelesaian.

Baca : Saat PA Menjilat Ludah Sendiri

Pemohon, tambah Yusril, juga memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pembatalan keputusan KIP Aceh tentang penetapan rekapitulasi hasil perolehan suara Pilkada Gubernur Aceh.

Mukhlis Mukhtar kemudian melanjutkan. Menurutnya, Pilkada di Aceh diselenggarakan secara aturan nasional yang mensyaratkan setiap pemilih wajib memiliki KTP elektronik. “Sementara berdasarkan Qanun Nomor 12 Tahun 2016, pemilih yang diperkenankan menggunakan dasar KTP elektronik, KTP nasional, KK, Paspor, dan identitas lain sesuai ketentuan peraturan perundangundangan,” ujar Mukhlis.

Faktanya, kata dia, penyelenggara telah melakukan pelanggaran terhadap qanun dengan menerapkan aturan pemilihan yang hanya dapat dilakukan dengan menggunakan undangan pemilihan, form C6-KWK dan e-KTP. Akibat pelanggaran itu, tambah Mukhlis, sekitar 910.309 warga Aceh atau sekitar 27 persen tidak dapat menggunakan hak pilihnya.

Bersambung ke Halaman 2…

Komentar