Banda Aceh – Pemerintah Aceh menyatakan, pembalakan liar masih terjadi di sejumlah wilayah, sehingga memicu terjadinya banjir dan tanah longsor selama tahun 2018.
“Pemicu bencana banjir, dan tanah longsor di Aceh akibat kerusakan hutan cukup parah,” ujar Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), Teuku Ahmad Dadek, Kamis (3/1).
Ia menyebut, bencana alam berupa banjir karena genangan air tahun lalu tercatat 60 kali dengan total kerugian diperkirakan mencapai Rp484,9 miliar baik di hulu maupun hilir sungai.
Lalu bencana tanah longsor terjadi sebanyak 25 kali dengan total kerugian diperkirakan Rp 55,5 milliar, dan banjir bandang terjadi delapan kali dengan total kerugian diperkirakan Rp115,4 milliar.
BPBA telah merilis bencana di Aceh selama 2018 terjadi 294 kali dengan total kerugian diperkirakan Rp848,2 miliar. Jumlah bencana di 2018 itu meningkat cukup signifikan sekitar 64 persen atau 109 kali dibanding tahun 2017 cuma terjadi 185 kali.
“Secara umum akibat daerah tangkapan air hujan menjadi hilang, seperti banjir bandang di Aceh Tenggara. Dalam sebulan saja, bisa terjadi bencana banjir bandang sebanyak tiga kali di daerah ini,” terang dia.
Pihaknya meminta kepada warga yang tinggal di daerah rawan banjir, segera melakukan pengecekan secara rutin di wilayah-wilayah hulu sungai agar tidak terjadi penumpukan air dalam jumlah yang besar.
Ia mengatakan, pembentukan desa tangguh bencana di setiap desa dengan menggunakan dana desa menjadi solusi untuk mencegah resiko bencana yang terjadi tahun 2019.
“Kita meminta masyarakat setempat untuk mengecek terhadap hulu-hulu sungai, atau kurung-kurung yang ada. Ada nggak, terjadi pembalakan liar di situ? Ada nggak penumpukan-penumpukan kayu yang bisa memperangkap air dalam jumlah yang besar? Itu lah, nanti akan berpotensi terjadinya banjir bandang,” ungkap Dadek.
Pelaksana tugas Gubernur Aceh Nova Iriansyah tahun lalu mengatakan, Pemerintah Aceh akan berupaya menyusun langkah-langkah menanggulangi bencana maupun risikonya pada tahun 2019.
Nova berencana menggandeng universitas di Aceh untuk melalukan riset dan identifikasi studi kelayakan, dan menyusun langkah-langkah menghadapi bencana.
“Kalau menanggulangi dampak banjir, kita akan perbanyak membangun ‘shelter’ vertikal, dan kantong-kantong serapan banjir. Kalau kebutuhan masyarakat yang terdampak banjir, semisal sandang, pangan, kebutuhan air bersih, dan termasuk hunian sementara, itu sudah pasti,” ucapnya.
(Muhammad Said/Antara)
Belum ada komentar