NURDIN yang dulu bukanlah Nurdin yang sekarang. Meski namanya tidak sementereng Nurasyidah dan Abdul Hadi usai berakting di serial komedi Eumpang Breuh (EB), tapi aksinya di film garapan Ayah Doe itu cukup mengubah kualitas kehidupan sosialnya.
Akting Pak Salam Pasar Pagi di luar film terlihat salah satunya ketika ia sedang di Banda Aceh, tujuh bulan setelah peluncuran Eumpang Breuh 11. Malam Senin pertama Maret itu, ia memarkirkan kendaraan di depan kedai kopi di kawasan Simpang BPKP Lampineung.
“Assalamualaikom.”
Dia muncul ke hadapan penikmat kopi dengan ucapan salam beraksen Aceh. Ia yang mengenakan sandal jepit berhenti di samping gerobak sate matang.
“Eh, Pak Salam Pasar Pagi?” tanya penjual mi, Samsul Bahri, sekira sepuluh langkah dari tempat ia berdiri. “Piyoh,” sambungnya mempersilakan.
Pak Salam senyum sesaat, lalu mengedar pandang dengan diam. “Sate, Bang,” pesannya. Pelanggan lain yang sedang nonton bola hanya melirik Pak Salam sekilas.
Dia mengenakan celana kain dan kemeja berwarna gelap. Peci hitam menutupi kepalanya. Dia merokok sembari menunggu pesanan.
“Dilee meunyo beureumpok ngon payah tagese-gese, jinoe jeut lah tapeugah, ‘jak hai tajep kupi’,” Nurdin mengawali ceritanya pada pikiranmerdeka.com. Maksudnya, sebelum main film Empang Breuh, ia mengelak ketika diajak kawan untuk ngopi. Tapi sekarang, ia justru akan mengajak kawan yang dijumpainya untuk ngopi.
Nurdin pernah bercita-cita menjadi seorang entertainer ketika remaja. Sejalan dengan hobinya menyanyi di pentas sejak SD. Ia sering ikut lomba nyanyi. Tak jarang menyanyi untuk radio.
Usai menamatkan SMA, di tanah kelahirannya, Lhokseumawe, kerjanya serabutan. Seringnya sebagai agen penjualan barang-barang sandang. Sulit dibayangkannya untuk menjadi seorang bintang di pentas. Posturnya pendek.
Namun suatu hari pada 2007, ketika sedang meraup pundi-pundi rupiah di bengkel, temannya Ismuhar menghampiri. Ditawarkan kepadanya main film. Dia melihat itu sebagai peluang besar untuk menyampaikan kritik sosial.
Dia tak menolak. Apapun peran yang akan diberikan sutradara siap dilakoni. Cita-citanya menjadi seorang entertainer pun terkuak lebar. Hasrat komediannya lantas tersalurkan melalui peran Pak Salam Pasar Pagi sebagai PNS. Aksi kocaknya cukup mengocok perut penonton.
“Pak Salam di film itu benar-benar berakting seperti pegawai. Dia pandai olah kata, tapi lucunya tidak dibuat-buat. Di luar pun ia terlihat seorang yang lucu dengan penampilannya yang sederhana,” komentar Samsul Bahri, yang menonton semua serial EB.
Kini ayah tiga anak itu bisa mengasapi dapur keluarga dengan stabil. Di samping aktivitas sebagai agen penjualan barang sandang, ia tetap berakting baik ketika menjadi pegawai di EB.
Namun malam itu, ia membeli sate matang tanpa ditemani asisten seperti di film EB. Asap rokok terus mengepul dari mulutnya. Berbaur dengan kepulan asap yang meliuk-liuk dari gerobak sate. Ia pun coba mengipas sendiri pesanannya. Peran yang tak diperolehnya di EB.
Sebelas episode EB dominan aksi kejaran-kejaran di jalan desa yang berlubang. Adegan merayu wanita juga sering muncul. Begitu pula ketika Pak Salam tampil sejak episode 7. Lakon itu menimbulkan komentar sebagian kecil, “Eumpang Breueh lagee-lagee seut/adegannya itu-itu saja.”
Sebuah kewajaran menurut Nurdin. Peran film Aceh, katanya, berbeda dengan film nasional. Jika dalam sisi romantisme misalnya, tidak boleh ada adegan pria dan wanita berpegangan tangan.
“Adegan di film Aceh, bila sudah mendekati hal seperti itu, pasti kita kejar-kejaran atau lainnya. Ya, di samping kami hanya memainkan skenario sutradara, menghibur dan mendidik,” ujarnya.
Di luar kesuksesan EB, Nurdin tak muluk-muluk menaruh harapan di dunia hiburan. “Jika ada sutradara yang menawarkan pemeran utama, saya belum berani terima. Boleh bercita-cita tinggi, tapi lihat juga kemampuan kita,” ucapnya.
“Dulu saya menyanyi dengan lirik sendiri tapi meniru irama lagu luar. Tapi saya tak pernah ingin menyanyi lagu-lagu seperti itu lagi, kecuali jika saya benar-benar bisa bikin lirik dan irama sendiri. Cukup main film saja semampu saya,” tuturnya.
Pria kelahiran 1973 ini, menegaskan pula, ia main film tak semata-mata meraih ketenaran dan pendapatan. Tetapi juga ingin meningkatkan kualitas perfilman komedi Aceh.
Berkat main film EB, Nurdin mulai dikenal banyak orang dan sebaliknya ia banyak mengenal orang. Karakter Pak Salam Pasar Pagi menempatkan sosoknya di hati masyarakat Aceh pecinta hiburan. Berharap namanya tak hanya muncul sesaat dalam dunia entertaiment sebagaimana ia membeli sate malam itu. [Makmur Dimila]
Belum ada komentar