PM, Banda Aceh – Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin mengimbau Bank Indonesia Perwakilan Aceh dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Aceh agar tidak salah menerjemahkan Qanun Nomor 11 tahun 2018 tentang Lambaga Keuangan Syariah.
Qanun ini meminta agar bank konvensional segera menuntaskan proses peralihan ke syariah sebelum 2021, yang kemudian ditindaklanjuti oleh seluruh bank konvensional di Aceh dengan mengalihkan rekening nasabahnya ke bank syariah masing- masing.
“Walaupun pilihan yang ditawarkan oleh bank konvensional kepada nasabah bersifat opsional (boleh memilih beralih atau bertahan) namun kita menilai kebijakan tersebut akibat salah tafsir bahasa Qanun,” kata Safaruddin.
Karena itu, menurut Safar ada kekeliruan dalam menafsirkan bahasa Qanun LKS. Seakan-akan, di Aceh, bank konvensional batas operasionalnya sampai akhir 2020.
Qanun 11/2018 merupakan penjabaran dari pasal 21 Qanun nomor 8 tahun 2014 tentang Pokok-Pokok Syariat Islam. Adapun bunyi pasal 21 adalah (1) Lembaga keuangan yang akan beroperasi di Aceh harus berdasarkan prinsip syariah. (2) Lembaga keuangan konvensional yang sudah beroperasi di Aceh harus membuka Unit Usaha Syariah (UUS). (3) Transaksi keuangan Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota wajib menggunakan prinsip syariah dan/atau melalui proses Lembaga Keuangan Syariah. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Lembaga Keuangan Syariah diatur dalam Qanun Aceh.
“Dalam pasal tersebut sangat jelas disebutkan bahwa Lembaga Keuangan yang akan beroprasi di Aceh harus berdasarkan prinsip syariah dan bagi Lembaga Keuangan Konvensional yang sudah beroperasi di Aceh harus membuka Unit Usaha Syariah, pasal ini sangat jelas bunyinya,” ujar Safar.
Pasal ini, kata dia lagi, dapat dilihat pada konsideran batang tubuh Qanun 11/2018. Jika kemudian diterjemahkan lain, menurutnya Qanun LKS ini akan bertentangan dengan norma dasarnya dalam Pasal 21 Qanun 8/2014.
Dalam kajian yang di lakukan oleh YARA terhadap Qanun LKS, ada dua pasal yang memunculkan salah tafsir oleh BI dan OJK, yang pertama adalah bunyi dari pasal 2 ayat (1) Lembaga Keuangan yang beroperasi di Aceh berdasarkan prinsip syariah (2) Akad keuangan Lembaga Keuangan Syariah di Aceh menggunakan prinsip syariah dan pasal 65 yang bunyinya “Pada saat Qanun ini mulai berlaku, Lembaga Keuangan Syariah yang beroperasi di Aceh wajib menyesuaikan dengan Qanun ini paling lama 3 (tiga) tahun sejak Qanun ini di undangkan.” Sehingga kemudian diterjemahkan bahwa di Aceh tidak boleh lagi ada operasional bank konvensional.
Dalam catatan YARA, ada dua pasal yang kemungkinan salah ditafsirkan, pertama Pasal 2 ayat (1) dan (2) dan kedua Pasal 65, yang jika dibaca sekilas bermakna bahwa di Aceh semua lembaga keuangan harus syariah dan tidak boleh ada lagi yang konvensional.
“Pada pasal ini tidak ada penjelasan di qanunnya, namun ini bisa dilihat pada naskah akademik yang menjadi landasan awal penyusunan qanun, dan kami sedang menunggu diserahkan naskah akademik qanun tersebut dari DPRA dan Pemerintah Aceh, naskah ini wajib karena merupakan syarat formil dalam penyusunan peraturan perundangan sebagaimana di tegaskan dalam pasal 57 UU 15/2019,” lanjut Safar.
Menurut YARA, secara teknis implementasi Qanun LKS ini menguntungkan Aceh. Jika setiap LKS Non Syariah wajib membentuk Unit Usaha Syariahnya, ini berarti akan ada penambahan LKS di Aceh dengan adanya Unit Usaha Syariah dari induknya yang Non Syariah.
“Tentu dengan penambahan Unit Usaha Syariah ini akan menyerap lagi tenaga kerja, memberikan banyak pilihan penggunaan fasilitas bank bagi masyarakat dan dampak positif lainnya secara ekonomi,” tutur Safar. []
Belum ada komentar