Sinabang—Pulau Simeulue termasuk daerah rawan gempa di Indonesia. Selain alat peringatan dini tsunami, kearifan lokal kerap menjadi acuan warga setempat untuk menyelamatkan diri saat terjadi bencana alam seperti gempa dan tsunami.
Kaman, nelayan Pulau Simeulue, menuturkan, gempa dan tsunami bukan hal asing bagi warga setempat. Pulau terluar di Provinsi Aceh ini menjadi langganan gempa dan tsunami karena berada di pertemuan tiga lempeng tektonik besar, yakni Eurasia, Australia, dan Samudera Pasifik.
Sebelum ditemukan alat deteksi dini tsunami, warga Simeulue meyakini beberapa gejala alam sebagai tanda akan datangnya bencana alam. Kepanikan binatang di alam bebas yang tidak lazim merupakan salah satu gejala alam yang dipercaya warga sebagai tanda akan datangnya gempa dan tsunami.
Begitu juga dengan perilaku hewan ternak yang tidak seperti biasanya, juga kerap diyakini sebagai tanda akan datangnya bencana. “Kemudian bau asin air laut yang kian menyengat dan ikan-ikan menggelepar di pantai,” ujar Kaman, Sabtu (14/4).
Dia menambahkan, keberadaan awan tebal yang lurus memanjang di angkasa juga diyakini warga setempat sebagai gejala alam yang memberi informasi akan datangnya ancaman tsunami atau akrab dikenal warga dengan sebutan smong.
Warga yang menemukan gejala alam tidak lazim langsung memberi informasi kepada rekan-rekannya agar waspada. Warga pun langsung mengumandangkan azan di masjid-masjid. “Secara berantai, informasi tentang ancaman tsunami beredar luas, sehingga masyarakat langsung melakukan upaya penyelamatan dengan mengungsi ke dataran tinggi,” paparnya.
Kearifan lokal ini secara turun-temurun dianut warga Simeulue setelah gelombang tsunami besar nyaris menenggelamkan Pulau Simeulue pada 1907 dan 2004 silam.[okz]
Belum ada komentar