Saat PA Menjilat Ludah Sendiri

Abu Razak, Muzakir Manaf dan TA Khalid (Photo Pikiran Merdeka/Oviyandi Emnur)
Abu Razak, Muzakir Manaf dan TA Khalid (Photo Pikiran Merdeka/Oviyandi Emnur)

Pilkada 2017 diwarnai gugatan Mualem-TA Khalid yang mendapat suara kedua terbanyak. Pilkada sebelumnya, gugatan juga dilakukan Irwandi tapi ditolak Mahkamah Konstitusi.

Sama seperti Pilkada 2012, Pilkada kali ini diwarnai gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan datang dari pasangan Muzakir Manaf-TA Khalid terhadap Komisi Independen Pemilihan Aceh. Pasangan ini menilai banyak pelanggaran terjadi secara terstruktur, masif, dan sistematis saat pelaksanaan Pilkada.

Muzakir-TA Khalid memperoleh 766.427 suara. Mereka kalah dari Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah yang meraup 898.710 suara. Selisih suara keduanya 132.283. Sementara, total suara sah pada pemilihan calon gubernur 2.414.801, suara tidak sah 109.62. Pilkada 2017 diikuti 2.524.413 pemilih.

Sesuai jadwal tahapan Pilkada, KIP Aceh akan menetapkan gubernur dan wakil gubernur Aceh pada 11-13 Maret. Namun, jadwal ini berubah karena harus menunggu putusan dari Mahkamah Konstitusi terkait gugatan tersebut.

Tak hanya itu, Pilkada 2017 juga diprediksi bakal panjang seperti 2012 yang juga diwarnai oleh gugatan ke mahkamah. Menariknya, penggugat kala itu adalah Irwandi Yusuf yang berpasangan dengan Muhyan Yunan. Perolehan suara pasangan jalur independen atau perseorangan ini kalah dari Zaini Abdullah-Muzakir Manaf yang diusung Partai Aceh.

Namun, sebelum pencoblosan dilakukan pada Senin, 9 April 2012, perdebatan melelahkan akibat kehadiran calon independen yang dalam Undang-undang Pemerintahan Aceh atau UUPA dibolehkan hanya satu kali, membuat jadwal Pilkada digeser hingga empat kali. Seharusnya, Pilkada Aceh digelar pada 2011. Ini Pilkada Aceh yang kedua setelah perjanjian damai antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka diteken di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005.

Perdebatan dimulai ketika dicabutnya Pasal 256 UUPA oleh Mahkamah Konstitusi. Pencabutan pasal ini mengakomodasi calon independen ikut Pilkada. Namun, Partai Aceh yang menguasai parlemen tak memasukkan klausul calon independen dalam Qanun Pilkada. Qanun itu pun tak dapat disahkan, karena Pemerintah Aceh tak sepakat.

Ketika Qanun Pilkada 2012 belum terbentuk, KIP menggunakan acuan hukum yang lama. Saat itu, KIP didukung oleh gubernur yang sedang menjabat membolehkan adanya calon peseorangan. Adapun legislatif menolak karena aturan tersebut hanya berlaku satu kali sejak ditetapkan UUPA hingga Qanun Pilkada siap digodok oleh DPRA.

Akibat persoalan yang terus berlarut-larut, KIP secara sepihak memutuskan jadwal pemungutan suara pada 14 November 2011. Jadwal ini kemudian digeser lagi oleh KIP ke 26 Desember 2011. Diyakini saat itu, jika pemungutan suara dapat berjalan tepat pada tanggal tersebut, batas akhir masa jabatan gubernur dan wakil gubernur tepat waktu.

Gugatan demi gugatan terhadap tahapan pilkada yang dijalankan KIP dengan merujuk pada aturan nasional, dilayangkan sejumlah pihak ke Mahkamah Konstitusi. Partai Aceh kala itu mengancam memboikot Pilkada dengan tidak mendaftarkan calonnya. “Kami menilai keputusan MK mengenai pencabutan Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh adalah peristiwa buruk yang kemungkinan terulang kembali. Ini adalah sebuah wujud nyata bahwa tak ada jaminan UU Pemerintahan Aceh yang merupakan dasar perdamaian Aceh akan berlanjut,” ujar ketua Partai Aceh Muzakir Manaf. Partai Aceh juga menuntut Pilkada ditunda, meskipun mereka telah menyiapkan pasangan Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf.

Baca : Irwandi Yusuf: Jika Lelah Minta di-PAW-kan

Saat KIP dan DPRA melimpahkan persoalan tersebut ke Mahkamah Konstitusi, calon independen tetap dibolehkan ikut serta dalam Pilkada. Mahkamah memerintahkan KIP Aceh dan kabupaten/kota melanjutkan pelaksanaan tahapan, program, dan jadwal penyelenggaraan pemilihan umum. MK juga memutuskan calon perseorangan dalam Pilkada sesuai dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tak melanggar butir 1.2.2 Nota Kesepahaman Helsinki antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka.

KIP Aceh kemudian kembali mengambil keputusan jadwal pemungutan suara menjadi 14 Februari 2012. Namun, sampai batas yang ditentukan pada awal Desember 2011, Partai Aceh tidak juga mendaftarkan bakal calonnya.

Belakangan, Partai Aceh termakan gertakan sendiri. Mereka harus menjilat ludah sendiri dan bersedia ikut Pilkada. Namun kesempatan maju kian sempit karena jadwal pendaftaran calon kepala daerah telah berakhir. Partai Aceh kemudian mengajukan gugatan kepada MK agar KIP kembali memperpanjang jadwal Pilkada agar seluruh calon mereka dapat ikut mendaftar.

Saat itu, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi juga mengajukan gugatan terhadap Komisi Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi agar membuka kembali pendaftaran tersebut. Dalam rapat dengan pimpinan DPR pada Kamis, 12 Januari 2012, Gamawan Fauzi mengatakan ia telah mencoba berbagai cara untuk melancarkan proses Pilkada Aceh yang dijadwalkan pada 16 Februari.

Sehingga sebagai jalan terakhir, selain menerbitkan Perpu, Mendagri mengajukan gugatan terhadap KPU ke Mahkamah Konstitusi. “Gugatan ini sebagai cara mencari payung hukum agar KPU memberi ruang membuka kembali pendaftaran bakal calon kepala daerah,” ujar Gamawan.

Keinginan untuk membuka pendaftaran, kata Gamawan, permintaan dari Ketua DPR Aceh. “Partai Aceh memperoleh suara hingga 48 persen, sehingga jika mereka tidak ikuti Pilkada, kami khawatir akan menganggu proses pemerintahan di Aceh untuk lima tahun ke depan,” ungkap Gamawan.

MK mengabulkan gugatan. Dalam putusan selanya pada 16 Januari 2012, MK memerintahkan KIP untuk membuka kembali pendaftaran. KIP lalu menetapkan keputusannya yang kesekian kalinya dengan perubahan kelima yaitu jadwal pemungutan suara jatuh pada 9 April 2012. Perubahan tersebut juga berakibat pada perubahan nomenklatur yang pada awalnya Pilkada 2011 menjadi Pilkada 2012.

Akhirnya, Partai Aceh yang sebelumnya gerah akan kehadiran calon independen, mendaftarkan kandidatnya. “Memang itu suatu hal yang semacam air liur yang harus kami jilat kembali, tapi kami mundur satu langkah demi kemaslahatan rakyat Aceh,” ujar Adnan Beuransyah, politisi dari Partai Aceh, setelah didaftarkanya pasangan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf ke KIP Aceh pada 20 Januari 2012.

Selain pasangan itu, ada empat pasang kandidat calon Gubernur Aceh yang ditetapkan. Mereka adalah Ahmad Tajudin-Suriansyah, Irwandi Yusuf-Muhyan Yunan, Darni Daud-Ahmad Fauzi, dan Muhammad Nazar-Nova Iriansyah.

Baca : Elit Partai Aceh Merajuk Lagi

Hasil akhir pemungutan suara, Zaini dan Muzakir memperoleh suara sebanyak 1.327.695 suara atau 55,75 persen. Di bawahnya, Irwandi Yusuf dan Muhyan Yunan dengan 694.515 suara. Adapun Muhammad Nazar-Nova Iriansyah yang diusung Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan dan Partai SIRA berada posisi ketiga dengan perolehan 182.079 suara. Sementara, Darni M Daud-Fauzi menempati posisi keempat dengan 96.767 suara. Posisi buncit ditempati Teungku Ahmad Tajuddin-Suriansyah dengan 79.330 suara.

Seperti Pilkada 2017, setelah hasil pemilihan diumumkan, gugatan melayang ke Mahkamah Konstitusi di Jalan Merdeka Barat Jakarta. Pada 19 April, didampingi 10 kuasa hukumnya, Irwandi mengajukan permohonan keberatan terhadap keputusan KIP Aceh serta hasil rekapitulasi penghitungan suara. Ia menggugat karena menganggap telah terjadi praktik intimidasi, teror, dan penggiringan memilih calon tertentu saat Pilkada. Kesepuluh pengacara tersebut adalah Andi Muhammad Asrun, Gunawan Nanung, Sayuti Abubakar, Amaluddin Karim, M Syafii Saragih, Toddy Laga Buana, Niko Kreshna AP, Wahyu Widi Purnomo, Liana Damayanti, dan Nurul Anifah. “Pendaftaran gugatan ini sebagai bentuk warga taat hukum, di mana penyelesaian sengketa pemilihan tidak dilakukan dengan cara-cara yang anarkis,” ujar Irwandi lewat siaran pers.

Gugatan ini juga menghadirkan belasan saksi yang memberikan keterangan lewat video konferensi yang digelar di gedung Fakultas Hukum Unsyiah. Para saksi memberikan keterangan mereka lewat video yang ditayangkan langsung ke gedung MK di Jakarta.

Selain itu, setidaknya ada 27 pelanggaran berupa teror dan intimidasi yang dibacakan kuasa hukum Irwandi dalam sidang tersebut. Mereka juga meminta KIP Aceh menggelar pemilihan ulang paling lambat tiga bulan setelah pencoblosan Pilkada dilaksanakan, tanpa mengikutsertakan pasangan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf.

Namun, gugatan ditolak Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Mahfud MD. “Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ujar Mahfud MD saat membacakan putusan.

Mahfud didampingi delapan hakim konstitusi lain menyatakan pokok permohonan yang diajukan pasangan Irwandi-Muhyan tidak beralasan dan tidak terbukti menurut hukum. Fakta yang terungkap di persidangan, kata dia, menunjukkan pelanggaran dalam Pilkada tersebut terjadi secara sporadis dan tidak melalui suatu perencanaan yang matang.

Hakim lainnya, Hamdan Zoelfa juga menyebutkan pidana yang dituduhkan Irwandi-Muhyan tidak terbukti dapat mempengaruhi pilihan pemilih. “Dan tidak terbukti dilakukan dengan kerja sama sistematis antara pelaku kekerasan dengan termohon (KIP Aceh), pihak terkait, maupun aparat penegak hukum, baik dalam bentuk aktif maupun pasif (pembiaran).”

Irwandi menerima keputusan tersebut. Ia mengucapkan selamat kepada pasangan Zaini-Muzakir sebagai gubernur dan wakil gubernur Aceh terpilih. Kini, cerita sama lima tahun lalu itu kembali terulang. Tentu saja, dengan penggugat dan tergugat yang bertukar posisi.[]

2 Komentar

Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. (Privacy Policy)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait