Revitalisasi Taman Sari, Bangun, Rusak dan Bangun Lagi…

Seorang anak bermain di porosotan dalam Taman Sari Banda Aceh. (Foto Makmur Dimila)
Seorang anak bermain di porosotan dalam Taman Sari Banda Aceh. (Foto Makmur Dimila)

Dia sangat tidak setuju mengenai pembangunan gedung di Taman Sari yang memiliki nilai sejarah itu. Dia berpendapat, menghasilkan sesuatu yang menarik tidak harus menambah lahan terbangun (urban solid). “Kenapa harus menambah jumlah lahan terbangun di atas Taman Sari yang seharusnya dijadikan RTH? Ayo jalankan 30 persen RTH dari kota sesuai UU penataan ruang nomor 26 tahun 2007,” sebut mahasiswa pascasarjana Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Islamic Internasional University Malaysia itu.

Sementara itu Roni Hariza, alumni Arsitektur Fakultas Teknik Unsyiah, memiliki dua pandangan berbeda terkait revitalisasi Taman Sari Banda Aceh. Pertama, dilihat dari tingginya antusiasme mayarakat Aceh dan wisatawan terhadap fungsi baru Taman Sari, adanya fasilitas seperti area pameran, taman bermain anak dan kemudahan akses internet memang diperlukan di Kota Banda Aceh saat ini.

“Dari kondisi itu saya melihat, Aceh memang memerlukan kawasan yang bernuansa ceria layaknya Taman Sari,” sebutnya dalam diskusi yang sama.

Namun di sisi lain, dia menegaskan, penambahan fasilitas di Taman Sari dikhawatirkan semakin menambah rentetan persoalan di taman yang menjadi halaman kantor walikota itu. “Soal ini butuh perhatian pihak terkait,” demikian Roni Hariza.

Pemko Banda Aceh melalui DK3 Banda Aceh justru meyakini perlunya revitalisasi Taman Sari, yang merupakan bagian dari mewujudkan Kota Hijau (Green City) Banda Aceh 2034. Banda Aceh, menurut Asisten III Setdako Banda Aceh Ir Gusmeri, merupakan kota yang mempunyai RTH terluas dari 570 kabupaten/kota di Indonesia.

Sejalan dengan RTRW Kota Banda Aceh 2009-2029 dalam Qanun RTRW Banda Aceh Nomor 4 Tahun 2009, sebut Gusmeri, penyediaan RTH publik haruslah sebesar 20 persen dari luas wilayah kota. Per 2015, lanjutnya, luas RTH publik di wilayah Banda Aceh sudah menyentuh angka 13 persen. Sisanya ditargetkan tercapai sebelum 2029. Karena itulah, konsep green city terus dipacu dalam pembangunan Kota Banda Aceh.

Menurut dia, kota hijau pada hakikatnya adalah kota berkelanjutan yang mampu memanfaatkan secara efektif  sumberdaya air dan energi, mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi terpadu, menjamin kesehatan lingkungan serta mensinergikan lingkungan alami dan buatan, selain harus ramah lingkungan.

Disebutkan, berdasarkan penelitian Saiful Bahri dari Fakultas Pertanian Unsyiah, kondisi terkini RTH di Banda Aceh seluas 1.474,79 ha. Terdiri atas 676.27 ha, RTH publik dan 798,52 ha RTH privat. “Kondisi ini belum memenuhi standar kecukupan minimal kebutuhan RTH ditinjau berdasarkan luas wilayah dan kebutuhan oksigen,” katanya.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

Tanpa pelana joki-joki cilik memacu kuda dengan kecepatan penuh. Beradu tangkas untuk menjadi sang juara. (Foto PM/Oviyandi Emnur)
Tanpa pelana joki-joki cilik memacu kuda dengan kecepatan penuh. Beradu tangkas untuk menjadi sang juara. (Foto PM/Oviyandi Emnur)

Uji Nyali Bocah di Punggung Kuda