Mosi tidak percaya terhadap Sekretariat KIP Aceh Darmasyah menjadi klimaks kisruh internal di lembaga penyelenggara Pemilu ini.
Sepucuk surat berisi pernyataan sikap menentang kepemimpinan Sekretaris KIP Aceh Darmansyah dikirimkan ke Sekretariat Jenderal KPU Pusat. Dalam surat itu, mereka menilai Darmansyah bertindak semena-mena dalam memimpin sekretariat lembaga itu. Ia juga dianggap anti kritik. Sejumlah pegawai yang getol mengkritisinya dimutasi jadi staf biasa. Bahkan, dari sejumlah PNS yang kena mutasi, ada juga PNS yang dicopot dari jabatannya tanpa alasan yang jelas. Posisi mereka pun digantikan dengan orang lain yang “loyal” kepada Darmansyah.
Sebenarnya, pegawai yang kini disingkirkan Darman adalah orang-orang yang membelanya saat terjadi kekisruhan di KIP tahun 2015. Saat itu, Darmansyah akan dilengserkan dari poisisinya sekretaris. Lalu, para bawahan Darmansyah tersebut pada 25 November 2015 mengeluarkan pernyataan sikap untuk tetap mendukungnya di posisi sekretaris.
“Saat itu kami adalah orang yang membela Pak Darmansyah. Padahal, saat itu rapat pleno KIP memutuskan memberentikan dia dari jabatannya sebagai Sekretaris KIP Aceh. Tapi kini kami cabut surat dukungan tersebut dan balik meminta dia diganti,” tutur salah seorang pegawai KIP yang menolak namanya ditulis.
Kekecewaan terhadap kepemimpinan Darmasyah, pada Kamis, 13 Oktober lalu, sejumlah pegawai KIP Aceh menggelar rapat di sebuah café di Banda Aceh. Awalnya, mereka berencana menggelar konferensi pers pernyataan sikap terhadap Sekretaris KIP Aceh tersebut. Namun, Hendra Fauzi yang juga salah satu komisioner KIP yang membidangi SDM datang untuk meminta penjelasan mengapa para pegawai melakukan aksi tersebut. “Hendra berusaha merdam aksi mereka. Ia berjanji akan memfasilitasi menyelesaikan persoalan tersebut,” papar sumber Pikiran Merdeka.
Baca: Prahara KIP Aceh
Tiba-tiba, jelas dia, Darmansyah datang ke lokasi acara didampingi seorang polisi beserta tiga orang stafnya yakni Kabag Keuangan dan Umum Drs Munawar dan Kabag Program, Data, Organisasi dan SDM Nashruddin Hasan. Kemudian Kasubbag SDM Indra beserta seorang tenaga ahli sekretaris Abdullah M Jam. “Untungnya tak ada keributan saat itu. Darmansyah yang memaksa acara itu dibubarkan mengatakan tak boleh menggelar rapat di luar kantor saat jam kantor masih berlangsung,” bebernya.
Kala itu, Darmansyah menuding aksi itu dikoordinir seorang staf yang berusaha memprovokasi dan mempengaruhi pegawai untuk menjelek-jelekkan ketua dan wakil ketua KIP. Ia menunjuk Sutrisman selaku Kasubbag Program dan Data sebagai aktor di balik serangkaian aksi tersebut.
“Tak ada keributan, karena kami sejak awal tak ingin ada ribut-ribut. Tak ada yang memprovokasi. Pak Darmansyah juga menuduh kami menjelekkan ketua dan wakil ketua, padahal itu tidak ada. Hanya dia sendiri yang bermasalah dan menjadi alasan kami menggelar aksi ini,” cerita sumber tersebut.
Selepas pertemuan tersebut, esoknya Darmansyah memanggil satu persatu pegawai yang ikut aksi tersebut menghadapnya. Ia meminta mereka menandatangani surat mendukungnya dan menyatakan bahwa mereka telah dipengaruhi oleh Sutrisman, salah satu pegawai di KIP Aceh. Namun, usahanya sia-sia, para pegawai menolak permintaan Darmansyah.
Surat yang diteken oleh 15 orang bawahan Darmansyah itu seakan menjadi puncak masalah di KIP Aceh. Dalam surat itu, mereka membeberkan sejumlah “dosa” Darmansyah selama memimpin Sekretariat KIP Aceh. Misalnya, Darmansyah dinilai tidak memperdulikan soal kepegawaian di KIP Aceh. Ia juga dituding menggunakan uang negara untuk kepentingan pribadi. Selain itu, Darmanyah disinyalir melakukan pungutan kepada setiap pejabat KIP yang dimutasi maupun mendapat promosi jabatan.
Dugaan adanya permainan uang dalam setiap proses pelantikan pejabat di jajaran Sekretariat KIP Aceh sudah berlangsung lama. Namun, saat pelantikan enam pejabat Sekretariat KIP kabupaten/kota pada Juli 2016, kabar tak sedap itu baru terendus ke publik.
Pejabat yang dilantik kala itu, yakni Hamdani sebagai Sekretaris KIP Aceh Utara, Zulkaidir sebagai Kasubbag KIP Bener Meriah, Andi Sayumitra sebagai Kasubbag KIP Aceh Barat dan Emil Wardana sebagai Kasubbag KIP Aceh Besar, serta dua Kasubbag KIP Simeulue yaitu Ali Judin dan Muhammad Fauzi.
Sebelum mereka dilantik, Darmansyah diduga memintai sejumlah uang dari para pejabat tersebut. “Di level sekretaris kisaran Rp5 juta. Untuk Subbag paling rendah Rp1 juta per orang. Di KIP Aceh ini sudah jadi rahasia umum soal pengutipan tersebut,” ungkap seorang pegawai di Sekretariat KIP Aceh kepada Pikiran Merdeka, Jumat pekan lalu.
Selain pelantikan pada Juli lalu, isu adanya pungutan liar juga berkembang saat proses pelantikan 10 pejabat KIP di tingkat kabupaten/kota dan provinsi pada Maret 2016. Saat itu, ada empat sekretaris KIP kabupaten yang dilantik, yaitu Aceh Timur, Aceh Selatan, Simeulue dan Gayo Lues. Kemudian lima Kasubbag KIP kabupaten dan seorang Subbag KIP Aceh.
Selain itu, jelas seorang sumber, permainan uang juga terjadi saat proses perpindahan pegawai dari KIP daerah ke KIP provinsi. Untuk mutasi perpindahan tempat kerja, pasaran dipatok mencapai Rp10 juta hingga Rp15 juta. Sumber ini mencontohkan, seorang pegawai KIP Bener Meriah dikenakan biaya Rp15 juta saat pindah ke KIP Aceh.
Tak berhenti di situ, Darmansyah juga diduga mengarahkan proyek ke rekanan tertentu. Ia juga menggantikan admin ULP dan Pokja ULP KIP Aceh dikarenakan tak memenuhi keinginannya untuk mengarahkan pemenang lelang. Bahkan, dalam pengadaan mobil operasional bagi komisioner, Darmansyah ditengarai mengarahkan pemenangnya ke rekanan pilihannya.
Disebutkan, tahun ini KIP Aceh menganggarkan Rp704 juta untuk pengadaan mobil bagi komisioner. Namun, mobil tersebut hingga kini tak jelas keberadaannya. Padahal, pada 12 Agustus lalu rekanan sudah menarik seluruh uang tersebut. Pemenang tender pengadaan mobil itu disebut-sebut rekanan yang “dipilih” langsung oleh Ketua KIP Aceh Ridwan Hadi.
Dosa terberat Darmansyah sebagaimana dipaparkan dalam mosi tak percaya, ia dinilai melakukan penipuan kepada negara. Modusnya, bersama dengan 20 pegawai lainnya, menyatakan tak lagi menerima tunjangan kinerja dari Pemerintah Aceh sejak Januari 2015. Surat pernyataan yang diteken pada 9 November 2015 itu pun dibubuhi materai 6000. Namun, faktanya ia masih menerima tunjangan prestasi kerja (TPK) dari Pemerintah Aceh hingga April 2016.
Sejumlah pegawai lainnya juga memakai modus yang sama. Bahkan, hingga kini masih ada sejumlah PNS yang diperbantukan ke Sekretariat KIP Aceh yang menerima tunjangan ganda.
Menyangkut persoalan tersebut, Darmansyah belum memberikan klarifikasi. Saat Pikiran Merdeka menyambangi kantornya, Darmansyah tak berada di tempat. Salah seorang stafnya mengatakan Sekretaris KIP Aceh itu sedang berada di Jakarta. Pikiran Merdeka berulang kali mencoba mengontak ke ponsel Darmansyah, namun ia tak menjawab panggilan masuk. Ia juga tidak merespon pesan singkat yang dikirimkan ke nomor telepon seluler yang digunakannya selama ini.
Sementara itu, Ketua KIP Aceh Ridwan hadi mengaku tak tahu soal mosi tak percaya tersebut. Ia menolak berkomentar soal itu. Alasannya, ia belum pernah melihat surat tersebut. “Saya tidak tahu soal itu,” jawabnya melalui sambungan telepon, Sabtu pekan lalu.
“Sama saya jangan ditanya lah soal yang begini, tanya soal teknis penyelenggaraan Pemilu saja. Ini adalah kewenangan sekretariat KIP,” sambung Ridwan Hadi.
Meski persoalan tersebut sudah sebulan terakhir ‘menggelora’ di lembaga yang ia pimpin, Ridwan bergeming. Ia mengatakan tak tahu menahu soal mutasi maupun penolakan pegawai KIP kepada Darmansyah. Padahal, surat mosi tak percaya itu sudah dikirimkan ke Sekjen KPU di Jakarta.
Pastinya, kata dia, gonjang-ganjing di internal KIP tak menggangu kinerja pihaknya dalam melaksanakan tahapan Pilkada 2017. “Tak ada masalah dengan kinerja kami,” tegas mantan Ketua KPU Lhokseumawe ini.[]
Belum ada komentar