PM, Banda Aceh – Komisi Pengawasan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA) menilai vonis Mahkamah Syariah (MS) Jantho terhadap RS, terdakwa kasus pemerkosaan terhadap cucu di Aceh Besar, cukup memenuhi rasa keadilan bagi korban dalam konteks hukum. Vonis seperti itu dinilai perlu untuk menjadi contoh dalam perkara serupa.
“Namun, sebaiknya putusan hakim juga mengamanahkan upaya rehabilitasi psikososial bagi korban sampai tuntas, yang harus dipenuhi negara,” ujar Komisioner KPPAA, Firdaus D Nyak Idin, Selasa, 7 September 2021.
Dia menilai rehabilitasi psikososial tersebut penting agar korban dapat kembali tumbuh kembang secara normal, dan memiliki kapasitas menggapai cita-citanya.
Hal senada disampaikan Wakil Ketua KPPAA, Ayu Ningsih. Dia bahkan turut mengapresiasi Hakim Mahkamah Syariah Aceh Besar yang telah menjatuhkan vonis 200 bulan penjara atau setara 16 tahun kurungan badan kepada RS. Komisi tersebut berharap vonis seperti itu dapat memberikan efek jera kepada pelaku dan calon pelaku lainnya.
“Seberat apapun hukuman yang diberikan kepada seorang pelaku kejahatan tindak pidana tentunya tidak serta merta dapat menghilangkan rasa-rasa traumatis yang diderita korban, karena itu diperlukan upaya rehabilitasi dan pemulihan psikologis korban dari lembaga penyelenggara perlindungan anak untuk dapat memulihkan trauma dan derita yang dialami oleh anak korban kejahatan tindak pidana seperti trauma dan gangguan psikologis, gangguan tumbuh kembang, stigmatisasi dan lebelisasi, diskriminasi, penyakit menular, diasingkan atau diusir dari keluarga dan gampong,” ujar Ayu Ningsih.
Menurutnya anak sebagai korban adalah kelompok paling rentan dalam sistem peradilan pidana umum karena eksistensinya seringkali terlupakan. Ayu bahkan menilai korban sangat sulit untuk mendapatkan hak-haknya.
“Posisi korban sangatlah penting untuk membongkar kejahatan, karena korban merupakan orang yang mengetahui mengapa dirinya menjadi korban dari suatu tindak pidana dan korban juga berhak mengajukan ganti kerugian/restitusi kepada pelaku untuk mengembalikan keadaan seperti semula, seperti keadaan sebelum terjadi suatu tindak pidana yang menimpa korban,” kata Ayu Ningsih.
Selain itu, KPPAA menyebutkan, pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban serta turut bertamggungjawab memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana. Salah satu bentuk perlindungan khusus yang dapat diberikan pada anak, yang menjadi korban suatu tindak pidana adalah selain penanganan yang cepat, pengobatan dan rehabilitasi secara fisik, psikis dan sosial. Pemerintah juga harus memastikan pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya terhadap korban, pendampingan psikososial pada saat pengobatan, sampai dengan saat pemulihan, pemberian sebuah perlindungan dan juga pendampingan pada setiap proses peradilan berjalan serta pasca persidangan.
Hambatan lainnya yang ditemukan dalam penanganan korban kejahatan tindak pidana adalah ketika dilakukan proses reunifikasi dan reintegrasi korban kepada keluarga dan masyarakat adalah masih adanya perasaan malu orangtua karena aib keluarga, orangtua merasa tidak sanggup mendidik anaknya, dan juga masih adanya penolakan dari lingkungan sekitar.
Selama ini, menurutnya, pelibatan keluarga dan orangtua dalam program layanan rehabilitasi pada anak korban kejahatan tindak pidana tentunya juga harus dilakukan evaluasi kembali. Pasalnya pemulihan terhadap korban haruslah mendapat dukungan yang sangat besar dari keluarga.
“Partisipasi bersama keluarga dan orangtua dalam memenuhi layanan rehabilitasi yang diberikan kepada korban sangat diperlukan supaya layanan yang diberikan pada anak korban dapat dilaksanakan secara tuntas dan mendapat dukungan dari keluarga, sehingga tidak lagi terjadi penolakan dari keluarga terhadap anak korban yang sudah selesai menjalani masa rehabilitasi,” ujar Ayu Ningsih.
Selain itu, kata dia, lembaga layanan juga diminta untuk melaksanakan program pemantauan dan monitoring melalui home visit sebagai pengakhiran layanan rehabilitasi yang diberikan kepada korban secara tuntas. “Karena itu sangat dibutuhkan komitmen untuk membangun strategi pencegahan dan rehabilitasi agar anak tidak menjadi korban tindak pidana, diperlukan upaya sinergitas dan kesamaan pandangan dalam penanganan hukum masalah anak korban kejahatan tindak pidana agar pelaku dihukum seberat-beratnya dan korban dapat terpenuhi hak-haknya dalam mendapatkan keadilan dan pemulihan,” pungkasnya.[]
Belum ada komentar