Film, Perlawanan, dan Sebuah Festival yang Tak Selesai

ChatGPT Image 20 Mei 2025, 22.01.35
Jean-Luc Godard

“Kami bicara soal solidaritas dengan mahasiswa dan buruh — dan kalian bicara soal dolly shot dan close-up!”

Bulan Mei 1968 biasanya menjadi ajang selebrasi sinema dunia. Kota Cannes, yang biasanya tenang dan mewah di pesisir selatan Prancis, menjadi pusat sorotan internasional. Karpet merah terbentang, kamera berkilat, dan para selebritas dari berbagai penjuru dunia melenggang dengan busana terbaiknya. Festival Film Cannes, yang sudah berusia lebih dari dua dekade kala itu, siap merayakan film sebagai seni, bisnis, dan hiburan.

Namun, tahun itu berbeda.

Sementara Cannes sibuk dengan gala premiere dan lampu sorot, Paris — sekitar 900 kilometer ke utara — terbakar. Gerakan mahasiswa yang awalnya menuntut reformasi universitas dengan cepat menjalar menjadi protes besar-besaran terhadap sistem sosial dan politik Prancis. Puluhan ribu mahasiswa turun ke jalan, memblokir kampus, bentrok dengan polisi, dan mengibarkan spanduk revolusi. Dalam waktu singkat, para buruh bergabung. Pabrik-pabrik besar mogok, transportasi umum lumpuh, dan negara tampak di ambang revolusi.

Dunia berubah. Tapi di Cannes, festival terus berjalan.

Di tengah kegentingan nasional itu, beberapa pembuat film merasa ada sesuatu yang tidak beres. Jean-Luc Godard, François Truffaut, Claude Lelouch, Louis Malle, dan tokoh-tokoh perfilman lainnya tidak bisa tinggal diam. Bagi mereka, tidak masuk akal untuk merayakan film saat rakyat di jalanan sedang berjuang untuk keadilan sosial.

Godard, yang kala itu sudah dikenal luas lewat film-film eksperimental dan politis seperti Pierrot le Fou dan La Chinoise, datang ke Cannes dengan misi yang berbeda. Ia tidak membawa film baru untuk ditayangkan, melainkan sebuah tekad: menghentikan festival.

download
Jean-Luc Godard dan François Truffaut saat menyerukan penghentian Festival Cannes 1968 demi solidaritas pada gerakan rakyat.
Foto: © Georges Pierre / Collection Christophel / Alamy Stock Photo

“Kita tidak bisa berpura-pura semuanya baik-baik saja,” ujar Truffaut dalam salah satu diskusi internal. “Festival ini tidak bisa berdiri di atas penderitaan rakyat.”

Mereka mulai menggalang dukungan di antara peserta festival, menyerukan solidaritas terhadap gerakan mahasiswa dan buruh. Mereka tidak ingin sekadar menyuarakan simpati — mereka ingin aksi nyata: membatalkan festival.

Perlawanan dimulai dengan aksi simbolik. Pada 17 Mei, sutradara Carlos Saura dan aktris Geraldine Chaplin menolak film mereka ditayangkan. Mereka secara harfiah menggantungkan diri di layar bioskop — menarik layar ke bawah dan menolak membiarkan pemutaran film berlangsung. Adegan ini membuat panitia dan penonton terkejut. Namun itu baru permulaan.

Ketegangan meningkat keesokan harinya. Pada 18 Mei, dalam sebuah sesi panel yang seharusnya membahas perfilman, Godard mengambil mikrofon. Ia berdiri, wajahnya serius, dan kacamata bundarnya menangkap sorot lampu dengan tajam.

“Kami di sini bukan untuk menonton film, bukan untuk berdiskusi soal sinema,” katanya dengan nada yang hampir marah. “Kami di sini untuk menyatakan solidaritas dengan mahasiswa dan buruh yang sedang berjuang!”

Kemudian ia mengucapkan kalimat yang kini abadi dalam sejarah:

“Kami bicara soal solidaritas dengan mahasiswa dan buruh — dan kalian bicara soal dolly shot dan close-up!”

Ruangan hening sejenak. Beberapa orang bertepuk tangan. Yang lain bingung. Tapi pesannya jelas: Godard menantang seluruh komunitas film untuk berhenti bersikap apolitis dan mulai berpihak.

Pidato itu menjadi titik balik.

Satu demi satu, para sineas menyatakan penarikan film mereka dari kompetisi. Alain Resnais, Miloš Forman, Roman Polanski, dan banyak lainnya menyatakan dukungan terhadap gerakan tersebut. Film-film besar ditarik dari layar. Proyektor dimatikan. Beberapa pemutaran dihentikan secara paksa.

Pada 19 Mei, festival benar-benar lumpuh. Juri festival tidak bisa menjalankan tugasnya karena tidak ada lagi film yang bisa dinilai. Pihak penyelenggara tidak punya pilihan selain mengumumkan bahwa Festival Film Cannes 1968 dihentikan sebelum waktunya. Tidak ada penghargaan. Tidak ada penutupan resmi. Festival itu bubar, seperti negara yang hampir bubar di luar temboknya.

ff12jpg
Kerumunan antusias penonton dan wartawan memadati depan panggung setelah pemutaran film produksi Elías Querejeta, sosok penting dalam perfilman Spanyol era transisi. Foto: Raoul Fornezza/AP/REX/Shutterstock

Bagi Godard dan rekan-rekannya, ini bukan kekalahan, melainkan kemenangan moral.

Mereka berhasil membuktikan bahwa film bukan hanya soal estetika dan pencapaian teknis. Film, dalam pandangan mereka, harus punya posisi — harus bersuara, harus berpihak. Sinema tidak bisa hanya menjadi cermin yang indah, tapi harus menjadi palu yang membentuk dunia.

Setelah Cannes 1968, lanskap dunia film Prancis berubah. Dalam waktu singkat, para pembuat film mendirikan Lembaga Sinema Nasional yang lebih demokratis. Juga lahir Komite Pertahanan Sinema Baru yang memberi ruang bagi suara-suara progresif dan independen dalam perfilman. Cannes sendiri berubah — dengan keterlibatan lebih aktif para pembuat film dalam keputusan festival di tahun-tahun berikutnya.

Godard sendiri tetap menjadi sosok kontroversial. Ia terus membuat film-film yang lebih politis dan eksperimental, menjauh dari industri besar, dan sering menolak sistem festival itu sendiri. Tapi momen 1968 itu — ketika ia berdiri, berteriak, dan mengguncang Cannes dari dalam — menjadi salah satu babak paling penting dalam sejarahnya.

Bagi dunia, Cannes 1968 adalah pengingat. Bahwa di tengah gemerlap, kadang dibutuhkan satu suara keras untuk mengingatkan kita: seni tidak bisa lepas dari kenyataan. Ketika dunia bergolak, panggung pertunjukan pun harus ikut bergerak.

Dan pada Mei 1968, Jean-Luc Godard menyalakan lampu itu — bukan di layar, tapi di hati para pembuat film yang sadar bahwa sinema adalah bagian dari perjuangan.

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait