Banda Aceh – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan (FISIP) UIN Ar-Raniry Banda Aceh menyelenggarakan diskusi terbatas (Focus Group Discussion/FGD) tentang polemik APBA 2018, Senin (5/3). Diskusi ini berlangsung setengah hari di Aula Rektorat UIN Ar-Raniry.
Kegiatan FGD ini dihadiri oleh perwakilan eksekutif, legislatif, pakar hukum dan ekonomi, lembaga pemantau kebijakan anggaran, insan media dan perwakilan mahasiswa. Di dalamnya membahas tentang dinamika, dampak dan upaya dalam melahirkan kebijakan APBA yang sesuai dengan aturan perundang-undangan, kebutuhan dan jadwal.
Perwakilan dari DPRA, Bardan Sahidi dalam diskusi tersebut mengatakan, dalam proses pembahasan APBA 2018, pihak legislatif telah berupaya membahas anggaran yang diusulkan oleh eksekutif secara detil.
“Hal ini dimaksud untuk memaksimalkan anggaran tersebut tepat sasaran,” kata Bardan.
Namun, pihak eksekutif yang diwakili oleh Juru Bicara Pemerintah Aceh, Wiratmadinata menganggap bahwa keterlambatan APBA ini harus segera diputuskan. “Sehingga, Gubernur Aceh perlu mengambil inisiatif untuk mengeluarkan Pergub dengan tujuan menghindari praktik-praktik transaksional yang tidak diizinkan oleh regulasi.
Dewan Menganggap Skenario
Di lain pihak, anggota DPRA dari Fraksi Partai Aceh, Dahlan menduga bahwa Pergub APBA sudah diskenariokan sebelumnya. Menurutnya, pihak eksekutif tidak menganggap legislatif sebagai mitra strategis dalam Pemerintahan Aceh.
Sedangkan beberapa pakar dan akademisi merespon hal itu, dimana sebagian besar menyetujui Pergub APBA, tentunya dengan beberapa catatan perbaikan. Salah satu usulan dikemukakan oleh Dr. Jafar dari Fakultas Hukum Unsyiah.
“Penting pemberlakuan E-Planning dalam proses pembahasan anggaran ke depannya. Selain itu perlu diberikan tenggat waktu yang tegas di dalam sistem tersebut, sehingga tidak ada alasan lagi untuk terlambat,” tegas Jafar.
Aceh Dilirik KPK
Peserta lainnya, yakni Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani mengingatkan bahwa status Aceh yang kini telah terintegrasi ke ranah penindakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Pemerintah Aceh (eksekutif dan legislatif) sejak tahun ini harus lebih waspada, lantaran status Aceh telah di-upgrade menjadi daerah binaan KPK. Hal ini diikuti juga oleh konsekuensi penindakan,” kata Askhalani.
Ia mengacu pada pengalaman dari daerah lainnya, seperti provinsi Sulawesi Barat dan Jambi. “Maka, mempergubkan APBA mungkin menjadi langkah aman baik bagi eksekutif dan legislatif,” tandasnya.
Tanggapan terakhir datang dari aktivis perempuan, Norma Manalu. Menurutnya, Pergub ini dapat dianggap sebagai KLB (Kejadian Luar Biasa) bagi Aceh, karena dapat menjadi pembelajaran bagi pemerintahan ke depannya. Hal tersebut juga diiyakan Renaldi dari FISIP UIN Ar-Raniry. Ia bahkan menambahkan, APBA yang merupakan pelaksanaan daripada sistem desentralisasi fiskal paska reformasi 1998, sudah semestinya sesuai dengan prosedur.
“Ini penting untuk mengamankan rasa kepercayaan Pemerintah Pusat, sehingga meminimalisir munculnya wacana sentralisasi fiskal kembali nantinya,” timpalnya. [Rilis]
Belum ada komentar