Foto: Istimewa

Berbagai cara ditempuh, wajar tanpa pengecualian terkadang diraih dengan cara tidak wajar.

Perburuan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) jadi pembahasan yang kian hangat dalam sebulan terakhir. Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap tujuh orang yang terlibat suap terkait pemberian WTP untuk Kementerian Desa, akhir Mei lalu, memperkuat dugaan publik bahwa ada praktik jual-beli WTP di BPK.

“Yang menarik dari hasil temuan KPK saat itu, diduga telah terjadi barter opini. Ini yang paling sering muncul. Yang seharusnya mendapat Wajar Dengan Pengecualian (WDP) karena ada temuan-temuan yang berpotensi merugikan negara atau tidak bisa dipertanggunjawabkan, namun itu bisa diubah prediketnya,” tutur Askhalani, Koordinator GeRAK Aceh.

Menurut Askhalani, banyaknya instansi yang mengejar raihan opini WTP, tak lepas dari reward yang dijanjikan pemerintah pusat. “Pihak pemerintah akan mengucurkan bonus berupa tambahan Dana Alokasi Umum (DAU) untuk daerah yang laporan keuangannya mendapat WTP.”

Cara pikir demikian mulai menuai dampak negatif. Baik Kementerian maupun pemerintah daerah kemudian berambisi hanya mengejar opini, tak lagi menargetkan prinsip-prinsip kehati-hatian dalam pelaksanaan anggaran secara efesien dan transparan. OTT kasus suap yang terjadi di Kemendes merupakan salah satu eksesnya.

“Ada juga fakta, sudah menjadi rahasia umum, sebagaian pemerintah menyewa konsultan untuk membuat laporan hingga kemudian seolah-olah dia patuh peraturan undang-undang. Konsultan yang digandeng, selain swasta bahkan ada yang kita temukan itu orang BPK sendiri yang membantu menyajikan laporan,” kata Askhalani.

Padahal, mantan Ketua KPK Abraham Samad pernah meminta BPK untuk lebih berhati-hati memberi prediket WTP. Disinyalir opini tersebut dijadikan pegangan pemerintah untuk sesumbar bahwa lembaganya bersih dari korupsi.

“Ada gejala di daerah, mereka terkesan memburu untuk mendapatkan predikat WTP. Terkadang kalau propinsinya sudah WTP itu berarti stop untuk aparat memeriksa,” ujar Abraham Samad, Oktober 2013, seperti dilansir Harian Analisa. Tertangkapnya oknum BPK dalam operasi tangkap tangan KPK bulan lalu, kian membuktikan apa yang sejak lama diwanti-wanti Abraham Samad.

 

KESENJANGAN EKSPEKTASI

Dalam berbagai kesempatan pihak BPK berulang kali mengingatkan, bahwa ‘kewajaran’ laporan keuangan bukanlah jaminan bersih dari temuan. “Tujuan audit keuangan hanyalah untuk memeriksa penyajian angka-angka di laporan keuangan, kewajaran penyajian pos-pos laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan. Bukan berarti kebenaran atas suatu transaksi. Opini atas laporan keuangan tidak didasari pada terdapatnya korupsi pada entitas tertentu atau tidak,” ucap Kasubbag Humas dan TU BPK Perwakilan Aceh, Kautsar Aditya Wicaksana saat ditemui Pikiran Merdeka, Jumat (16/6) pekan lalu.

Meski demikian, jika pemeriksa menemukan adanya penyimpangan, kecurangan atau pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang, khususnya yang berdampak adanya indikasi kerugian negara, hal itu akan diungkapkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan. “Kami selalu sampaikan hal ini. Karena, selama ini banyak sekali kesalahpahaman banyak kalangan mengenai makna opini yang diberikan BPK,” kata Kautsar.

Pernyataan ini kian menegaskan apa yang disebut expectation gap atau kesenjangan ekspektasi. Dalam dunia audit, teori ini dimaknai sebagai ‘perbedaan antara apa yang masyarakat dan pengguna laporan keuangan yakini atas tanggung jawab auditor, dan apa yang auditor sendiri yakini atas tanggung jawab mereka’.

“Masyarakat menuntut pemeriksaan keuangan mengungkap kasus korupsi yang mungkin terjadi, sedangkan auditor BPK dituntut untuk menyatakan opini atas laporan keuangan, sehingga terdapat perbedaan persepsi atas tanggung jawab auditor,” demikian pernah dijelaskan Auditor BPK-RI, Irfan Mangkunegara.

Dalam artikelnya ‘Teori Expectation Gap, Penjelasan Mengapa Opini WTP Tidak Berarti Bebas Korupsi’, Irfan juga menjelaskan, jika terjadi kecurangan (fraud) maka akan berdampak pada salah saji di laporan keuangan. Maka biasanya muncul usaha untuk menutupi kecurangan tersebut. Dan, umumnya berujung pada pertanggungjawaban dan laporan palsu. Pelaporan yang tidak semestinya atas transaksi ilegal, pada akhirnya akan menyesatkan. Sebab, laporan keuangan tidak mengungkapkan fakta yang sebenarnya.

“Namun, tidak semua temuan akan berpengaruh terhadap kewajaran laporan. Auditor BPK harus menilai apakah salah saji tersebut berpengaruh secara ‘material’ terhadap keseluruhan laporan keuangan,” lanjutnya.

Aspek material yang dimaksud yaitu besarnya nilai penghapusan atau kesalahan penyajian informasi keuangan yang berkaitan dengan sejumlah situasi, sehingga memungkinkan bahwa pertimbangan yang dibuat oleh seorang yang mengandalkan informasi tersebut akan berubah atau terpengaruh oleh kesalahan penyajian. “Makanya, untuk menentukan nilai materialitas tersebut diperlukan serangkaian metode teknis dan professional judgement dari auditor,” tambahnya.

 

METODE PENILAIAN

Menyimak sejumlah temuan di balik opini WTP, GeRAK menilai metode penilaian yang berujung pada opini BPK itu perlu dicermati kembali. Pihaknya meminta hasil audit BPK menjadi indikator untuk menilai seluruh kinerja pemerintah. Belajar dari terungkapnya kasus suap Kemendes yang menggemparkan publik tempo hari, masyarakat mulai beranggapan BPK tak sekedar menjadi lembaga ‘pemutih’ kelancungan instansi pemerintahan.

“Kita harap BPK bukan lembaga yang ‘memutihkan’ daerah yang memang hitam catatan keuangannya,” kata Askhalani.

Aceh saat ini masih saja menempati indeks persepsi korupsi yang cukup tinggi. Setiap tahunnya, kata Askhalani, perkara korupsi yang diselesaikan Kejati lebih dari 35 kasus. “Temuan kasus yang berpotensi korupsi itu lebih dari 70 kasus per tahun. Menjadi aneh, dengan indeks persepsi korupsi yang tinggi, tapi hampir seluruh pemerintah daerah di Aceh menyapu bersih opini WTP. Ini benar-benar aneh bin ajaib,” katanya.

Karena itu, GeRAK melihat korelasi antara kecermatan adminsitrasi dengan persepsi korupsi yang saling bertolak belakang, ditambah pemberian reward  dengan hanya bermodal pembuatan laporan keuangan yang baik, tentu tidak tepat. “Seharusnya itu diubah, persepsi indeks terkait opininya. Boleh saja disebutkan WTP, tapi cukup terhadap penyajian laporan keuangan sesuai dengan UU saja. Namun, begitu bicara soal pertanggungjawaban, bicara soal implementasi  anggaran, tidak bisa disebutkan daerah tersebut bebas dari korupsi,” tegas Askhalani.

Ia mengusulkan pemerintah pusat perlu menyusun formulasi baru untuk mengaudit daerah. Dan ke depan, tidak perlu menjadikan WTP sebagai ajang memberi penghargaan. “Tidak lagi menggunakan pendekatan yang kemudian bisa digunakan menjadi sarana politik. Bayangkan saja setiap Pemilukada, orang berlomba-lomba menyajikan informasi bahwa di masa mereka pernah mendapat WTP berkali-kali. Ini kan sudah tidak benar?” sambungnya.[]

http://www.pikiranmerdeka.co/2017/06/28/teuku-kemal-pasya-prestasi-hasil-lobi-lobi/

Komentar