20210211 img 20210211 wa0006
Proses mediasi KPK terhadap tumpang tindih pengelolaan aset antara Pemko Banda Aceh dan Pemerintah Aceh. (Dok/BPPA)

PM, Banda Aceh – Pemerintah Aceh bersama Pemerintah Kota (Pemkot) Banda Aceh berkomitmen melakukan penyelesaian delapan aset yang selama ini tumpang tindih antara Provinsi dengan Kota Banda Aceh.

Penyelesaian itu ditandai dengan penandatanganan berita acara kedua belah pihak yang dilakukan oleh Gubernur Aceh, Nova Iriansyah dan Wali Kota Banda Aceh Aminullah Usman.

Adapun dari perwakilan Komisi Pemberantasan Korupsi ditandatangani oleh Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi Herry Muryanto dan Direktur Koordinasi dan supervisi  Brigjen Polisi Didik Agung Widjanarko.

Nova mengapresiasi gagasan KPK dalam mendorong penyelesaian aset tumpang tindih antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Kota Banda Aceh. Menurutnya penting menertibkan pengelolaan aset tersebut.

“Penting dikelola secara baik sehingga dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Aceh, sebagaimana ketentuan yang berlaku,” kata Nova di Ruang Kolaborasi, Lt. 16, Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (11/2/2021).

Ia merincikan kedelapan aset tersebut, di antaranya Gedung Banda Aceh Madani Education Center (BMEC), tanah dan bangunan Rumah Budaya, tanah Stadion Haji Di Murthala, tanah SD Negeri 47 Banda Aceh, tanah Rumah Dinas Walikota Banda Aceh, tanah Pasar Al Mahirah Lamdingin, tanah bangunan Cold Storage Lampulo, dan Pelabuhan penyeberangan Uleu Lheue.

“Untuk percepatan penyelesaiannya, saya telah instruksikan Sekda Aceh untuk melakukan upaya konkret penyelesaian aset-aset tersebut dengan Pemerintah Kota Banda Aceh,” ujar Nova.

Adapun upaya yang dilakukan, tambahnya, telah disampaikan kepada Wali Kota Banda Aceh melalui Surat Nomor 118/2338 tanggal 10 Februari 2020 Tentang Tindak Lanjut hasil temuan BPK RI sebagaimana amanat Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, di mana Pelabuhan penyeberangan Uleu Lheue menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi.

“Beberapa aset lainnya telah ditindaklanjuti penyelesaiannya melalui rapat, pada 2 Juli 2020 lalu di kantor Gubernur Aceh yang dipimpin oleh Sekda Aceh dan turut dihadiri Sekda Kota Banda Aceh beserta sejumlah pejabat lainnya,” katanya.

Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan bahwa pihak Pemerintah Kota Banda Aceh segera menyampaikan rencana pemanfaatan dan pengelolaan aset tumpang tindih tersebut, namun dalam perkembangannya belum berjalan sebagaimana yang diharapkan.

Selanjutnya kata Nova, pada 9 Februari 2021 telah dilaksanakan pula pertemuan lanjutan yang yang dipimpin oleh Sekda Aceh dan turut dihadiri Walikota Banda Aceh berserta Sekda Kota Banda Aceh dan pejabat lainnya.

“Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan akhir di mana lima dari delapan aset diserahkan kepada Pemerintah Kota Banda Aceh yaitu tanah Stadion Haji Di Murthala, tanah SD Negeri 47 Banda Aceh, tanah rumah dinas Walikota Banda Aceh, tanah pasar Al Mahirah Lamdingin dan tanah bangunan cold storage Lampulo,” jelas Nova.

Sedangkan tiga aset lainnya, lanjut Nova seperti Gedung BMEC, Rumah Budaya dan Pelabuhan Penyeberangan Uleu Lheue diserahkan kepada Pemerintah Aceh.

Ia menyebutkan, kesepakatan ini telah tertuang dalam Berita Acara. Sehingga kedua pihak berkomitmen untuk menindaklanjuti secepat mungkin, yang diperkirakan pada akhir Maret ini tuntas.

Wali Kota Banda Aceh Aminullah Usman,  juga mengapresiasi KPK yang sudah berinisiatif menyelenggarakan acara tersebut, karena bisa menengahi kedua belah pihak.

“Sebenarnya tidak ada lagi masalah terhadap aset ini karena sudah ada rapat sebelumnya. Tapi dengan adanya KPK sebagai mediator penyelesaian, maka kita yakin masalah ini akan segera selesai” ujarnya.

Aminullah juga mengatakan, dalam rapat yang dihadirinya pada 9 Februari lalu, sudah dirumuskan apa yang mesti dilakukan. Urutannya juga sudah sangat jelas. Namun memang perlu ada pengawasan dari KPK.

Begitu pula dengan Gubernur Aceh yang telah menetapkan tim Adhoc antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Kota Banda Aceh untuk penyelesaian masalah tersebut.

“Saya kira kalau sudah ada tim seperti itu, nanti kita menandatangani surat-surat saja untuk bekerja ekstra, mengejar waktu satu setengah bulan lagi, Insya Allah bisa tuntas,” ujarnya.

Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi Herry Muryanto mengatakan, terkait dengan permasalahan aset ini, bagi KPK permasalahan aset bukan hanya di Aceh, tapi juga ada di daerah lain di Indonesia.

“Jadi kami coba menengahi, kami tidak mengambil keputusan, tapi kita coba berdiskusi, kami berdiri di tengah untuk mendorong,” katanya.

Menurutnya, aset ini sebenarnya harus dimanfaatkan masyarakat, sementara di tata kelola saat ini administrasinya masih amburadul. Untuk itu, harus dilakukan dari sisi pengamanan aset. “Kita harus pengamanan sertifikasi yang merupakan pengamanan fisik. Karena harus dikelola, dimanfaatkan, yang tujuannya untuk keselamatan aset,” ujarnya. (*)

Komentar