Seorang perempuan paruh baya tengah mencari tiram di bantaran Alue Naga, Syiah Kuala, Banda Aceh, Kamis (29/10/2020). (Foto/Cut Salma)

PM, Banda Aceh – Hembusan angin laut menerpa pengendara sepeda motor sore itu, Kamis (29/10/2020). Melintasi jalan dari Desa Tibang hingga Alue Naga, tepatnya di sekitar jembatan Krueng Cut, Syiah Kuala, Kota Banda Aceh, tampak berjajar pondok-pondok pedagang. Sekilas mereka terlihat seperti pedagang ikan segar.

Belasan pondok kayu itu menjajakan tiram yang dikemas dalam plastik transparan. Mereka begitu ramah memanggil para pengendara yang melintas saat matahari hampir terbenam.

Tak jauh dari pondok, perempuan-perempuan paruh baya sedang berendam di sepanjang bantaran laut Alue Naga. Sesekali mereka muncul, menyusuri tepi tambak, kemudian berendam lagi.

Para pencari tiram ini mengenakan perlengkapan yang persis satu sama lain. Berbalut sarung tangan, lengkap dengan kaos kaki dan sepatu untuk berendam. Di lehernya tergantung sebuah keranjang kecil berbentuk jaring sudah terisi penuh oleh tiram-tiram.

Tangannya tak lepas menggenggam sebuah pisau, mencongkel tiram yang menempel di ban bekas. Ban-ban ini satu persatu diangkat ke atas permukaan air. Sehabis dicongkel, kemudian dibiarkan kembali tenggelam.

Mencari tiram menjadi mata pencaharian utama bagi sebagian warga di kawasan Alue Naga. Tiram merupakan kelompok kerang dengan cangkang berkapur dan pipih. Selain rasanya yang unik, jenis kerang ini punya segudang manfaat untuk kesehatan. Tiram kaya akan mineral penting yang dibutuhkan tubuh seperti seng, zat besi, kalsium, kalium. Tak hanya itu, tiram juga rendah lemak dan kalori.

Salbiah, salah seorang pencari tiram, tampak seorang diri berada di tambak miliknya. Kepada Pikiran Merdeka, Salbiah mengaku tak ingat persis kapan ia memulai pekerjaan itu. Namun yang pasti, kata Salbiah, dengan mata pencaharian itulah ia mencukupi kehidupan sehari-hari.

“Sudah lama, nggak ingat lagi kapan. Alhamdulillah untuk biaya sehari-hari cukuplah dari sini,” katanya.

Saban hari, Salbiah mulai mencari tiram selepas Zuhur dan baru akan pulang sesaat sebelum azan Magrib berkumandang. Tiram-tiram itu terkumpul hingga satu ember besar bekas cat.

“Besok paginya, saya bawa tiram-tiram ini ke pasar Peunayong,” ujarnya.

Sehari-hari, Salbiah bisa mengumpulkan tiram hingga 10 sampai 20 mug, dengan penghasilan sekitar Rp 200 ribu sehari. Salbiah menjual tiramnya dengan harga Rp 15 ribu hingga Rp 20 ribu per mug.

Dalam satu tambak besar, Salbiah berbagi tempat dengan pencari tiram lainnya. Tiap lapak dibatasi dengan bambu-bambu penyangga yang dibuat berjajar berbentuk persegi panjang. Pada bambu ini juga tiram-tiram itu akan menempel.

Setahun sekali, Salbiah harus mengganti dan merehab penyangga dari bambu-bambu ini. Biasanya itu menghabiskan modal sekitar Rp 500 ribu untuk membeli bambu dan membayar orang yang merehab.

“Kalau sudah rapuh, harus diganti,” katanya sembari mengambil tiram dari lipitan ban bekas.

Bertahan Saat Pandemi

Salbiah dan beberapa orang lainnya juga pernah menerima bantuan dari Walikota Banda Aceh, Aminullah Usman. Tambak tiram bantuan wali kota itu dibuat dari pipa paralon yang disemen ke permukaan air laut di dalam tambak.

“Ada juga bantuan dari Pak Amin. Bantuan dari Pak Amin yang pipa paralon putih itu,” katanya.

Salbiah melakoni aktifitasnya setiap hari, kecuali saat air pasang, atau ketika dirinya tiba-tiba sakit dan terpaksa beristirahat di rumah. “Kalau memang nggak sanggup pergi, ya nggak cari,” katanya.

Selama pandemi, Salbiah mengaku tidak merasakan dampak yang signifikan pada penjualan tiram. Permintaan tiram di pasaran masih berjalan normal sebagaimana biasanya.

“Tak berpengaruh apa-apa, sama saja kalau penjualan tiram,” tandasnya. []


Reporter: CUT SALMA

Komentar